Sunday, November 15, 2009

PERMINTAAN ADINDA

Permintaan Adinda
( cerpen oleh Dewi Maharani )


Entah sudah yang keberapa kali aku menulis tentang bungsuku ini. Rasanya tak pernah bosan aku membayangkan wajah lugunya, mengingat apa yang diucapkannya, nada bicaranya, yang semua itu selalu saja membuatku tersenyum sepanjang hari. Dialah Rakyan Trisyabhuana Adinda Maharani, putri kesayanganku yang akrab kusapa dengan panggilan sayang " Dinda ".

Seperti hari kemarin saat aku berhasil menelponnya, karena saat hari raya pertama sepanjang pagi hingga siang hari aku tak juga bisa membuat panggilan ke Indonesia. Jaringannya terlalu padat seperti padatnya arus mudik di mana-mana. Malam hari aku berhasil menelpon rumah, namun Dindaku sudah tertidur pulas. Dan aku berjanji untuk menelponnya keesokan hari.

Sore, sekitar pk. 4 wib aku kembali mencoba menekan nomor telepon rumah.

" Assalamualaikum ... " sebuah suara menjawab dering teleponku. Aku tahu itu suara jagoan tengahku.

" Wa'allaikumsalam sayang .. ini Adi kan ?"

" Mama yaaa .. iya ini Adi. Mama mau ngomong sama Dinda ya ?"

" Iya, Nak . Mana dia ?"

" Lagi nyuci, Ma "

" Haaaahh !! Lagi nyuciii ??! Dinda nyucii ??!!" tak sadar aku terpekik mendengar jawabannya.

" Iya, emangnya kenapa Ma ?" ada keheranan dari nada suaranya.

" Mana sini, mama mau ngomong. Suruh tinggal cuciannya," kataku tak sabar.

Pikiranku menjadi kacau, yang ada dalam pikiranku adalah Dinda yang masih kecil itu mencuci baju. Oooh .. Gusti !

" Assalamualaikum, mama ya ?" suara halus itu sejuk menyapaku.

" Iya Nak. Dinda lagi ngapain sih ?"

" Lagi nyuci, Ma " jawanya kalem.

" Nyuci apa sayang ?"

" Nyuci piring .. " Ooooh lega rasanya, ternyata ...

" Oh, kirain mama nyuci baju."

" Ya kadang-kadang nyuci baju juga kok, Ma."

" Apa ?! Dinda nyuci baju ?! Bajunya siapa, bajunya Dinda ?!" kembali aku terlonjak.

" Yaaa... baju semuanya. Akung, Uti, sama mas Adi juga."

" Haahhh ??!!!" ini sih bukan lagi terlonjak, tapi double lonjak!

Aku mecoba menata hatiku yang ingin meledak. Kuusap-usap dadaku yang terasa menyesak.

" Kenapa harus Dinda yang nyuci baju, apa Dinda bisa, apa bersih ... trus kenapa bukan mbah Uti yang nyuci ?" bertubi-tubi pertanyaan keluar dari mulutku. Namun malaikat kecil itu sangat tenang menjawabnya.

" Mbah Uti kan sudah tua, Ma. Kasian kalo nyuci banyak. Tangannya mbah Uti suka gemetaran kalo kecapekan". Mataku mulai merebak, dadaku semakin sesak.

" Lha dulu kan ada yang suka bantu nyuci sih Nak " ucapku sambil menenangkan diri.

" Sekarang kan lebaran Ma, ya semua orang kan repot. Lha kalo bajunya gak dicuci sampai seminggu nanti gimana coba ?" Duh anakku ...

" Dinda umur berapa sih sekarang, Dinda sekolahnya kelas berapa?" pertanyaan bodoh itu keluar dari mulut seorang ibu pada anaknya.

" Dinda kan sudah 9 tahun Ma, sudah kelas 5 sekarang. Kan sudah pinter bantu mbah Uti." Mama tahu nak, jawabku dalam hati.

" Iya, tapi kalau nyuci baju, mama gak setuju sayang. Dinda masih terlalu kecil, Nak " aku betul-betul sudah tak kuasa menahan isak ini.

" Ya pelan-pelan gak papa kok ma. Sedikit-sedikit aja kok. Mas Adi kan tugasnya nyapu sama ngepel, sama nyuci kamar mandi, lha Dinda kan nyuci piring sama nyuci baju, yang masak tetep mbah Uti kok ."

" Iya, iya nak .. " aku tak kuasa meneruskan kata-kataku lagi.

Sejenak aku terdiam, membayangkan putriku yang saat itu kutinggalkan belum genap berusia 4 tahun, dan saat keberangkatanku yang kedua, usianya baru 6 tahun. Sekarang diusia yang ke 9 tahun, aku belum bisa membayangkan sebesar dan setinggi apa dia. Malah kini dia sudah bisa mencuci baju, sebuah pekerjaan yang bagiku sangat melelahkan. Karena aku sendiri baru belajar mencuci bajuku ketika berusia 14 tahun. Ya Tuhan ...

" Mama kok diam ?"

" Eh iya sayang, gak kok. Dinda sudah ma'em ?" aku sudah tak tahu lagi harus bicara apa. Perasaanku bercampur aduk saat ini. Kucoba kembali menata hatiku perlahan sambil kupejamkan mata sejenak,dan menarik nafas panjang setelah kemudian kuhembuskan perlahan.

" Ma, kenapa mama harus pulang Desember? Kalau Oktober aja gimana,Ma?" suara lembut itu kembali memberi sebuah pertanyaan.

" Mama baru dapat cutinya Desember sayang "

" Ya minta Oktober aja dong, Ma .."

" Gak bisa, sudah aturannya begitu "

" Ya protes dong, Ma !"

" Hahaha ... kamu ini ada-ada saja Dinda, memangnya main bola ya, pake protes ?" aku tertawa geli mendengar kata-katanya.

" Hehehe .. kan Dinda sudah kangen sekali sama mama. Wajah mama saja Dinda gak tahu sekarang gimana. Eh, wajah mama sekarang gimana sih Ma ?"

Waduh! kembali malaikat kecil ini menohok hati mamanya. Aku masih belum sempat menjawabnya, ketika kembali tohok yang kesekian dihantamkannya.

" Tahu gak, Ma .. kalau pas pengambilan buku raport di sekolah, temen-temenku selalu nanya, kok mama kamu gak pernah datang ngambil raport ? Kayak apa sih wajah mama kamu, Din?"

" Ohya ?" hanya kalimat pendek itu yang mampu keluar dari bibirku.

" Iya Ma, masa' dari Dinda kelas 1 sampai mau kelas 6, mama gak pernah ngambilin raportnya Dinda. Gak seperti temen-temen yang lainnya"

Rasanya tak perlu lagi aku menjelaskan, bagaimana dia harus menjawab pertanyaan teman-temannya. Dan tak perlu lagi harus kujelaskan mengapa perempuan yang dipanggilnya mama ini tak pernah bisa hadir di sekolahnya saat pengambilan buku raport. Dinda tak akan pernah lupa apa yang pernah aku ucapkan setiap kali aku menelponnya. Aku tahu ini hanyalah ungkapan kecil di antara kerinduannya selama ini. Maafkan mama, Nak.

" Dinda sabar saja ya, sayang. Desember gak lama kok nak. Dinda minta apa kalau mama pulang nanti ?" kucoba menghiburnya dan mungkin juga mencoba menghibur hatiku.

" Minta apa yaa ... " sejenak jawaban itu menggantung, lalu ...

" Oya Ma, Dinda minta mesin cuci aja ya ?"

Ops! Aku tertawa, " Mesin cuci ?"

" Iya, supaya nanti mbah Uti gak usah nyuruh-nyuruh orang buat nyuci'in baju lagi. Wong nyucinya juga gak bersih kok, bayarnya mahal lagi. Kan duitnya bisa dikumpulin daripada buat membayar orang. Nanti kalau Dinda sekolah siapa yang mau nyuci baju, kan kasian kalau mbah Uti yang nyuci, kalau Dinda sekolah nanti kan capek Ma "

Duh, anak siapa ini ? Aku bahkan tak pernah punya pemikiran secerdas anakku sendiri, yang masih berumur 9 tahun! Masyaallah ....

" Iya .. iya sayang, nanti pasti mama belikan yaa. Sekalian aja kalau mama pulang ya, nanti Dinda yang milih mesinnya ya ?"

" Makasih ya Ma "

" Iya, trus buat Dinda sendiri apa?" tanyaku kemudian.

" Apa ya .. ," kembali terhenti sejenak, lalu ..

" Bisa gak Dinda minta .... kalau mama pulang nanti jangan berangkat ke Singapura lagi ?"

Aku menghela nafas sebentar sebelum kujawab pertanyaannya.

" Kan mama harus kerja, Nak. Dinda kan sudah tahu kalau mama harus bekerja "

" Iya, tapi kan kerja di Indonesia juga bisa kan, Ma ? Tuh temen-temenku, ibunya juga gak ada yang ke Singapura kerjanya"

Anakkuuuu ... siapa yang mengajarimu bicara sekritis ini, Nak ?! jeritku dalam hati.

" Ya Ma yaa ... boleh gak, Ma ?" dan suara malaikat kecilku kembali terdengar. Aku sedikit tergagap menjawabnya.

" Iya iya .. nanti kita bicarakan lagi ya kalau mama sudah pulang,"

" Iya ma. Janji ya, ma ? Ohya ... selamat hari raya ya ma, hehehe sampai lupa Dinda. Maaf lahir bathin ya ma "

Iya nak, maafkan mamamu juga, lahir dan bathin ...


spore,230909
** DM **

SEBAIT SAJAK DARIMU

Sebait Sajak Darimu, Ay ...
[cerpen oleh Dewi Maharani ]



"kulihat dermaga di matamu
dalam pelayaran sepiku
bersama cemas meremas
kutitipkan setetes asa pada rahimmu
kenanglah selalu cintaku yang kekal
karena selalu ada kau di detak jantungku,
rinduku ..."


Sebait sajak yang kau tulis ini masih kupadangi, kubaca lagi, kuulang dan terus kuulang.
Kertas putih berhias huruf-huruf indah ukiran tanganmu yang semakin basah oleh tetes demi tetes airmata yang tak juga mau berhenti ini bergetar dalam genggaman tanganku. Perlahan kuletakkan kertas yang hampir koyak itu di atas meja, bersamaan itupula kuletakkan kepalaku berbantal lipatan pergelangan tangan dan kembali kulepaskan tangis yang sedari tadi berupa isak. Dadaku sesak, sangat sesak, tubuhku terguncang hebat sehebat guncangan berita-berita gempa yang memporak porandakan ranah Minang.


Inikah arti dari sajak itu? Inikah misteri yang harus kuungkap dari untaian kata-kata indah yang selama ini menjadi pertanyaanku? Cemasmu yang meremas hati saat mengungkapkan cinta padaku, inikah jawabannya? Tapi kenapa harus sekarang, di saat cinta telah mengurat dalam jiwaku, di saat hati telah melekat padamu. Saat biduk perlahan telah mulai kita rakit walau tetap kulihat kekhawatiranmu setiap kali menatapku. Kenapa ... kenapa???!!! Hatiku histeris, belati itu kembali mengiris. Darah ... aku melihat darah mengucur dari jantungku yang repih. Perih ini sebenar perih!


Kejujuranmu terlambat, Ay. Kejujuran yang kau balut dengan dusta, apalah artinya? Bagiku sama saja, karena pada akhirnya terkuak juga semuanya. Aku bukanlah gadis ingusan yang akan diam dengan kejujuran palsumu, airmata imitasi yang kau anggap bisa menguatkan sandiwaramu. Semuanya omong kosong yang membuatku semakin merasa tercabik-cabik setelah kau tersudut dengan semua pertanyaanku. Semakin kau kewalahan menjawabnya, bagiku semakin ingin kukoyak kebohonganmu.Semakin kau menyuruhku berhenti, semakin aku tak kuasa mengendalikan diri untuk menggali semua dusta yang telah berani kau mulai.


Ingat Ay, siapa menabur angin maka bersiaplah menuai badai! Dan kau tahu bagaimana diriku, dan kau tahu bagaimana sikapku pada sebuah kebohongan. Dan kau sangat-sangat tahu bagaimana amarahku jika sudah meluap. Seluruh dunia akan ikut merasakan sakitnya sayatan belati di hatiku, Ay! Alam akan turut menangis melihat genangan bening yang tak henti mengaburkan pandanganku. Seperti saat seluruh penghuni alam akan sangat bersuka cita bila aku berbahagia. Kau harus menerimanya, sakitmu yang tak sedalam tusukan pedang di ulu hatiku, rasa malumu yang tak sebesar maluku yang telah menepatkan dirimu sebagai lelaki paling sempurna di atas dunia. Apalagi? Masihkah kau tanyakan keadilan pada diriku, sementara luka ini entah bila akan mengering?


Tanyakan pada dirimu Ay, hukuman apa yang pantas kau terima? Jangan salahkan jika semua mata memandangmu sebagai pecundang, walau sudah kukatakan akulah sang pecundang itu! Akulah yang terlalu bodoh, yang terlalu lekas terbuai oleh manis lidahmu dan teduhnya tatapan matamu. Akulah yang begitu mudah terlena oleh kenyamanan bahu yang kau berikan padaku untuk bersandar. Akulah yang tak sadar bahwa ada perempuan di balik dunia lain yang selalu menantikan belaian kasihmu dengan sabar. Aku terhenyak, saat kau katakan bahwa ada dia yang selama ini kau sembunyikan.


Gempa itu tak hanya mengguncang bumi Padang Ay, namun mengguncang hebat batinku! Meluluhkan tulang-tulang yang menyangga tubuhku, menggelapkan pandanganku, menghancurkan semua sendi yang merangkai ragaku. Aku memekik pada langit yang memandangku muram, " Tuhan, apa arti semua ini???!!!!"


Semuanya sudah tak berarti Ay, walau kau berlutut di kakiku tanpa hendak beranjak. Hatiku telah terkunci mati untuk ma'afmu yang setiap detik kau ucapkan. Gudang batinku sudah meluap dengan kata-kata ma'afmu yang entah harus kuletakkan di mana ma'af yang tercecer itu. Aku tak butuh lagi kata-kata itu. Semua sudah terjadi, aku tak pernah ingin menjilat ludah yang pernah aku buang di tanah. Kau tahu betapa bencinya aku dengan poligami, dan bagai racun kau tawarkan kebencian itu dengan nampan kepalsuanmu.


Sebait sajak di atas kertas itu mulai terkoyak, perlahan dan perlahan tinta emas itu mengabur untuk dipandang. Kuraih kertas yang selama ini kujaga rapi dalam kesucian hati. Kuremas tanpa rasa cemas seperti kecemasanmu saat menitipkan asa pada rahimku. Dengan airmata yang mulai mereda dan luka yang entah bila akan datang obatnya, sebait sajak itu kujadikan repihan-repihan dan kubiarkan terbang bersama hembusan angin menjelang mentari terbenam. Dan pedih ini mengiringi setiap baris kata yang masih tertinggal dalam ingatan ....


"kenanglah selalu cintaku yang kekal
karena selalu ada kau di detak jantungku"


Masihkah harus kukenang Ay, jika setiap hela nafas adalah sayatan belati yang kurasakan ..?


Dan ingatlah Ay, bahwa sekarang bukan jamannya Rosul lagi. Dan aku bukanlah Khotidjah ataupun Aishah yang bisa ikhlas serta tawadu' untuk berbagi suami.




spore, 181009
Dewi Maharani

KISAH LENGKING PURNAMA

Kisah Lengking Purnama
cerpen oleh Dewi Maharani


Kisah ini hanyalah kau dan aku yang tahu, mengerti dan memahami, mengapa sampai perjalanan sebuah pencarian yang tak pernah selasai ini terjadi.


Senja merayap perlahan namun pasti menuju malam, bersama lingkar emas purnama yang mulai mempertontonkan keanggunannya di tengah kerlipan para bintang. Indah langit tak seindah suasana bathinnya, yang selalu gulana di awal purnama hingga harus dengan rela melepas masa dengan sia-sia.


Dia tergantung di tengah sebuah pintu yang membuatnya tak bisa memasuki dua dunia, ada yang belum terselesaikan yang membuatnya mampu bertahan menggerayang malam dengan kidung-kidung pilu yang menyayat kalbu.


Ya, perempuan berkebaya dan beralas sandal terompah itu, entah sudah berapa puluh tahun mengitari sepanjang pinggiran Sungai Putih, nama sungai di sebuah desa yang tak pernah nampak ada kehidupan jika purnama menjelang. Seolah sudah menjadi kebiasaan bagi warganya untuk segera menutup pintu dan jendela rapat-rapat selepas maghrib, tak terkecuali.


Dan para ibu akan segera meninabobokan bayinya juga anak-anak dibawah umur sesudah isya. Karena mejelang tengah malam para orang dewasa akan segera memasang telinganya untuk sebuah senandung memilukan yang secara perlahan akan terdengar mendekat, semakin dekat dan dekat. Namun suara yang berasal dari tepi sungai itu, yang mulanya hanyalah sebuah gumam tak jelas, menjadi sebuah kidung yang masih seperti gumaman dan secara perlahan akan berubah menjadi lengking tangisan yang membuat bulu kuduk bergetar.


Seperti saat ini, gerbang tengah malam mulai terbuka oleh hembusan angin dengan semilir yang tak biasa. Kepak kelelawar menyambut keheningan, menghentikan suara riang jangkrik-jangkrik hutan yang segera bersembunyi dibalik tebal rerumputan liar. Senandung itu mulai terdengar, menggema menembus pekat kabut malam dan memantul dari batang-batang pohon jati yang mngelilingi tepian Sungai Putih.


" Thok, thok ... thok, thok!"

Bunyi terompah kayu memecah kesunyian menandakan sang empunya sedang melintasi jalan beraspal di jembatan yang berada di atas sungai itu. Kebaya dengan motif bunga-bunga dengan kain batik yang melilit di tubuhnya, serta kerudung biru yang dikenakannya nampak berkibar-kibar tertiup desah angin malam. Dia akan terus berjalan, dan berjalan mengelilingi sepanjang tepian Sungai Putih sambil tak henti bersenandung.


Setiap malam hingga pagi saat sinar bulan menghilang, dia tak akan pernah menghentikan langkah kakinya. Senandung pilu yang didengungkannya akan menjadi lengking tangisan mejelang subuh tiba. Sesudah itu ia akan menghilang dan kembali muncul menjelang tengah malam hingga purnama tak lagi menghiasi langit setelah tujuh hari.


Tak ada yang tahu siapa dia, perempuan berkebaya dan berkerudung biru yang selalu membayangi keheningan di desa itu.
Suara terompah kayunya dan senandung yang selalu berubah menjadi lengkingan pilu hanya akan berhenti sejenak, jika ia berpapasan dengan seseorang yang melintas di tengah jembatan itu. Dengan keanggunanya ia akan mendekat dan suara halus dari bibir merah merekah itu akan segera menyapa ...


" Namaku Jantini, tolong aku kisanak. Adakah kisanak melihat sebuah selendang sutera berwarna ungu? Tolonglah kisanak, jika engkau menemukannya segera kembalikan kepadaku. Aku sudah mecarinya berpuluh-puluh purnama di sini, namun hingga kini tak juga aku temukan selendang kesayanganku itu. Tolonglah kisanak, aku sangat lelah, terlampau lelah."


" Aku ingin segera menemui kekasih hatiku. Namun tanpa selendang itu, aku tak bisa bertemu dengannya. Karena selendang itu adalah hadiah tanda cinta darinya, yang akan kukenakan sepanjang hidupku. Karena tanpa selendang itu, kekasihku tak percaya bahwa aku masih sangat mecintainya."


" Kisanak, di mana selendang itu? Katakanlah, aku sudah tak punya cukup waktu. Aku ingin melepaskan rindu pada kekasihku yang telah lama menunggu di pintu nirwana. Kekasihku yang malang, dia meregang nyawa saat hendak melindungiku dari para lelaki bejat yang merobek-robek keperawananku dan melemparkan tubuh kami pada derasnya aliran sungai ini!"


Dan suara lantang itu kembali menjadi lengking tangis dan tawa bengis. Tak akan pernah ada yang bisa kembali jika melintasi jembatan itu, karena mereka tak akan pernah bisa menemukan selendang sutera ungu yang diinginkan Jantini. Dan tubuh para lelaki malang itu akan diketemukan mengambang setelah beberapa hari hanyut ditelan derasnya aliran Sungai Putih yang selalu meminta korban setiap purnama datang.


SEKIAN


spore, 061109
** DM **

BAYANGAN ITU

BAYANGAN ITU
[cerpen oleh Dewi Maharani]



"Aku perempuan normal, Tia. Bagaimanapun juga aku tetap membutuhkan lelaki dalam hidupku."


Kalimat singkat dan datar itu keluar dari bibir tipis kak Hani. Perempuan cantik yang telah mengangkatku menjadi adiknya sejak 5 tahun lalu. Sambil mematikan bara dari sampoerna merah yang tinggal setengah centi pada asbak di atas meja kayu yang berada persis di depanku.


Sambil kembali memoleskan kuasnya pada lukisan yang aku sendiri tak mengerti apa sebenarnya gambar yang akan dilukisanya itu, perempuan yang sangat mencintai seni itu melanjutkan kata-katanya,


"Life must go on, buat apa kita meratapi sebuah kegagalan. Jangan pernah menyerah, karena yang meninggalkan kita berarti memang bukan hak kita. Jika masih ada cinta yang bisa kita rasakan, bersyukurlah. Karena itu adalah suatu anugerah tersendiri dari Gusti Allah."


"Kakak nggak capek disakiti hatinya terus sama lelaki-lelaki tak tahu di untung itu?" tanyaku kesal.


"Lelaki memang hanya tahunya menyakiti perempuan, baik secara fisik maupun batin. Begitukah Gusti Allah menciptakan makhluk yang berjenis kelamin lelaki? Cinta? Hahh! itulah senjata mereka untuk menjerat perempuan dan memuaskan apa yang diinginkannya. Setelah itu, tendang!" tak sadar nada suaraku mulai meninggi.


Benar-benar aku tak mengerti jalan pikirannya. Dengan kesal kuraih sebatang sampoerna yang masih tersisa beberapa di dalam kotak pembungkusnya. Kunyalakan api, kuhisap dalam-dalam sebagaimana cara kak Hani bila sedang menikmati asap nikotin kesukaannya ini. Namun aku tak selihai dia, dadaku terasa sesak dan aku terbatuk hebat hingga hampir muntah.


"Kalau nggak tahu bagaimana cara menikmati asap, nggak usah coba-coba. Minum air putih sana, kamu pikir setiap orang bisa dan tahu bagaimana merokok?" ujarnya sambil mengambill alih batang rokok yang ada di sela jemariku dan kemudian dihisapnya dengan penuh kenikmatan, itu yang aku pikirkan bila melihat bagaimana perempuan semampai ini memperlakukan sebatang rokok berujung bara itu.


Aku menurut. Ya, aku memang selalu menuruti apa yang dikatakannya. Sejak kami berkenalan di sebuah rumah makan lesehan beberapa tahun lalu, aku sudah mengaguminya. Saat itu aku yang baru berusia hampir 15 tahun, dengan penampilanku yang dekil dan awut-awutan menyanyikan sebuah lagu balada dengan gitar butut pemberian seorang teman di depannya.


Aku memang hanya seorang anak jalanan yang bertahan hidup dengan mengamen dari rumah makan satu ke rumah makan lainnya, di kawasan yang sangat strategis di sebuah jalan di Yogyakarta.
Semenjak aku melarikan diri dari rumah, di mana aku selalu melihat ibuku disiksa oleh ayah tiriku yang sangat ringan tangan dan bengis, bahkan aku sendiripun selalu kena hardik keras jika membantah kata-katanya, kadang jika emosinya sedang tinggi tak urung sebuah tamparan keras akan melayang di mukaku hingga aku terpelanting.


Sebenarnya aku masih bisa bertahan dengan keadaan itu, walau kebengisan ayah tiriku yang menikahi ibu setelah 2 tahun ayahku meninggal karena penyakit gagal ginjal yang tak bisa terobati, aku masih bisa merasakan kelembutan dan kasih sayang ibu. Namun setelah lelaki jahanam yang juga paman tiriku, adik kandung ayah tiriku memporak porandakan masa depanku di suatu malam, hidupku selalu dihantui ketakutan yang luar biasa.


Peristiwa yang akhirnya kini menjadikanku trauma dan membenci para lelaki terus membayangi langkahku. Aku saat itu yang baru berusia 13 tahun, menjadi korban pelampiasan nafsu bejat seorang lelaki yang seharusnya sangat aku hormati. Dan yang menjadikanku semakin ketakutan, karena lelaki itu mengancam akan membunuhku jika aku menceritakannya pada ibu.


Aku tak tahu harus bagaimana, selain aku takut dengan ancamannya, lelaki pengangguran itu tak hanya sekali dua kali melakukan pemerkosaan terhadapku. Aku hidup tak bisa di bawah ketakutan dan ancaman yang terus menghantuiku, dan hanya dengan jalan meninggalkan rumah sejauh-jauhnya, aku merasa akan aman dan terbebas dari nafsu binatangnya.


"Melamun lagi kan ?" suara kak Hani membuyarkan bayangan hitam yang sedang kembali menghampiriku.


Aku mendongak memandang perempuan berhati samudra ini sambil tersenyum.


"Apa senyum-senyum? Ngelamunin apa, ngelamunin si Rudi apa si Najib?" tanyanya sambil mengikat rambut legamnya yang indah sebahu itu.


"Puih! Sorry la yauw! Nggak ada kamus lelaki dalam hidupku. Sekali nggak tetep nggak, titik!" jawabku ketus. Kuraih gitar pemberian kak Hani kado ulang tahun saat usiaku genap 15 tahun, dan dengan gaya khasku yang berhasil memikat perhatian kak Hani dan teman-temannya, kumulai memetik dawai-dawai gitar itu dan mengalunkan sebuah lagu balada dari penyanyi favoriteku Franky & Jane.


Kulihat kak Hani hanya menghela nafas panjang, kemudian dengan santai ia duduk bersila di depanku. Meraih sebatang rokok dan menyulutnya. Aku tetap menikmati petikan gitar dan lagu yang kunyanyikan. Sambil menandaskan sisa kopi yang masih tersisa di dalam cangkir, mata indah kak Hani menatapku lekat-lekat. Aku merasa jengah dibuatnya, dan seketika aku hentikan petikan gitarku.


"Apa sih kak ngliatin gitu, ada yang aneh atau salahkah diriku ini?" tanyaku ala telenovela.


Tangannya meraih kedua telapak tanganku, digenggamnya penuh kehangatan. Dan masih dengan tatapan teduhnya, perempuan tegar ini berujar,


"Kamu masih sangat muda untuk menentukan sebuah sikap, Tia. Masih banyak waktu untukmu belajar banyak tentang orang-orang di sekitarmu. Kamu anak yang cerdas dan sangat berbakat, walau pendidikanmu hanya sekolah dasar, tapi kamu punya sebuah kemauan besar untuk merubah hidupmu. Itu yang aku suka darimu."


Aku tersenyum walau belum mengerti benar arah bicaranya. Kemudian sambil menyandarkan punggungnya di tembok bercat biru muda, kak Hani melanjutkan bicaranya.


"Aku tahu kamu masih dihantui masa lalumu, tapi aku juga sangat yakin bahwa semua itu akan berlalu, seiring berjalannya waktu. Dengan terus aktif ikut kegiatan sanggarku dan terus aktif dengan kegiatan bandmu, aku yakin suatu saat kau akan menjadi perempuan yang sesungguhnya."


"Kau akan matang dengan didikan alam, jangan jadikan masa lalumu sebuah trauma berkepanjangan. Jadikan semua itu pembelajaran untuk langkahmu ke depan. Berjanjilah padaku, kau bisa merubahnya, ya?"


Aku mengangguk perlahan, kurasakan ada yang hangat mengalir di kedua pipiku. Perempuan yang kuanggap dewi dalam kehidupanku itu aku peluk. Dengan kelembutannya kurasakan belaian jemarinya pada rambutku. Hanya dia yang kupunya saat ini, aku menatap matanya dan memberinya anggukan penuh kepastian.


****************************


Gerimis masih saja tak mau berhenti dari petang tadi hingga menjelang tengah malam ini. Matakupun masih belum juga menunjukkan tanda-tanda minta diistarahatkan. Aku berdiri terpaku di depan cermin di sebelah jendela kamarku. Kupandang sosok perempuan muda seusiaaku yang berada di dalam cermin itu.


Aku tersenyum, nampak diapun membalasku tersenyum. Sungguh manis senyuman itu. Rambut panjang tipis sebahunya sama persis dengan yang aku punya. Saat tanganku mencoba menyentuhnya, diapun melakukan hal yang sama. Telapak tangan kami bersentuhan namun kaca cermin itu membatasi kami untuk bisa saling berpegangan.


Tiba-tiba, aku melihat sosok yang sangat kukenali berdiri di belakang gadis itu. Sosok lelaki berkumis tebal itu tersenyum sinis dengan wajah bengisnya. Bukankah dia ayah tiriku? Tak hanya itu, akupun melihat sosok lain yang juga muncul di belakang lelaki bengis itu. Lelaki kurus berambut keriting itu .... bukankah dia si jahanam berhati binatang yang telah menghancurkan masa kanak-kanakku?


Aku mulai panik, dan kulihat gadis di dalam cermin itu juga terlihat cemas namun tak juga beranjak daru tempatnya berdiri. Belum sempat aku memekik menyuruhnya segara berlari, tiba-tiba di belakang kedua lelaki berjiwa iblis itu muncul sosok perempuan dengan rambut panjang terurai dan baju daster compang-camping. Aku bisa melihat tubuh kurusnya dan wajah yang sangat pias serta sayatan-sayatan luka di kedua lengannya.


Ya Tuhan, bukankah itu ibu?! Yaa! Perempuan itu ibuku, tubuhnya menyandar di tembok dan wajahnya terlihat menahan rasa sakit yang luar biasa. Aku ingin berteriak memanggilnya, tapi sungguh bibirku tiba-tiba terkunci rapat. Aku ingin memberi tahu gadis di dalam cermin itu, namun diapun sepertinya hanya bisa menatapku dengan penuh kecemasan tanpa mau menoleh ke belakang.


Aku semakin panik melihat wajah-wajah beringas yang tersenyum memuakkan, dan ibu yang aku yakin sangat memerlukan pertolonganku. Kakiku bahkan seperti terpaku di lantai tempatku berpijak.
Dan wajah-wajah itu semakin mendekat dan mendekat, mereka masih saja tersenyum bahkan lelaki berkumis tebal itu mulai tertawa dan diikuti tawa adik lelakinya yang semakin membahana.


Aku ingin segera lari dari depan cermin ini, namun gadis di dalam cermin itupun masih nampak ketakutan dan tak bisa ke mana-mana. Wajah gadis itu, wajah ibu dan wajah-wajah bengis di depanku semakin mendekatiku. Kutarik rambutku, kututupi kedua telingaku, aku bergidik sangat takut. Kututupi wajahku dengan telapak tangan, kemudian dengan sekuat tenaga aku memekik keras, sangat keras hingga duniaku tiba-tiba terasa gelap.


Dan aku tak tahu lagi di belahan dunia sebelah mana aku kini berada ...


SEKIAN


spore, 121109
**DM **

MALAM JUM'AT

MALAM JUM'AT
[cerpen special malam Jum'at oleh Dewi Maharani]


"Ayolah ma, papa pingin sekali. Sekali saja ma, dah itu mama boleh istirahat," suamiku masih saja berusaha berusaha merayuku.

Aku tetap menolaknya dengan alasan yang menurutku dia mau mengerti. Tapi tetap saja dengan nada merengek seperti bocah 5 tahun yang menginginkan sesuatu, lelaki yang telah memberiku 2 orang buah hati ini terus menarik-narik ujung lengan baju tidurku.

"Malam jum'at lho, ma," ujarnya sambil membalikkan tubuhku untuk menghadap ke arahnya.

"Iya mama tahu, pa. Memangnya kalau istri papa capek, tetep harus memenuhi permintaan papa?" kataku sambil menarik selimut untuk menutupi tubuhku berusaha menghindar dari gerilya jemari tangan suamiku.

"Mama kan tahu kalau malam jum'at itu malam sunah, ma. Dosa lho kalau menolak," kembali suamiku pantang menyerah sambil melingkarkan kedua tangannya pada pinggangku.

Aduh, kesabaranku benar-benar diuji rupanya. Aku balikkan badanku dan kemudian aku bangkit dan duduk di tepi ranjang. Dengan kesal kutatap wajah suamiku yang juga menatapku tak mengerti.

"Mama tahu pa ini malam Jum'at. So kenapa jika mama menolak? Salahkah mama menolak kalau mama merasa sangat penat dan kepala ini terasa berat? Kenapa sih papa egois gitu?!" nada suaraku sedikit meninggi menahan kekesalan.

"Papa nggak tahu seharian Nadia terus saja menangis tanpa sebab. Mama sudah berusaha bagaimana supaya anak itu diam, tapi dia terus saja menangis tanpa mau sekejappun lepas dari gendongan mama. Sementara mama juga harus mengantar dan menjemput Rio, dan merampungkan semua pekerjaan rumah. Papa nggak ngrasain betapa capeknya mama, please lah pa. Kali ini saja mama menolak. Bolehkan ?"tak kuasa aku menahan emosi untuk menjelaskan kepada suamiku alasan apa hingga aku menolak menjalankan kewajibanku kali ini.

"Okelah okelah terserah mama. Malam-malam nggak usah ribut-ribut gitu, nanti tetangga pada dengar, malu-maluin aja. Dah, papa mau tidur!" jawab suamiku sambil menarik selimut dan membalikkan badannya memunggungiku.

Aku tergugu memandang tubuh gagah yang kemudian diam dan mulai memperdengarkan dengkuran halusnya. Aku tahu suamiku pasti sangat kecewa dengan penolakankun ini. Tapi aku sungguh merasa lelah yang tak tertahankan.

Sedari pagi, sepeninggal suamiku berangkat ke kantornya dan setelah aku mengantarkan Rio, sulungku pergi ke sekolah, Nadia putri keduaku yang baru berusia 9 bulan itu menangis tanpa tahu sebabnya. Segala usaha telah aku lakukan untuk meredakan tangisnya, tapi hanya beberapa menit dia terdiam kemudian tiba-tiba tangisnya kembali pecah seakan ada sesuatu yang menyakitinya.

Aku benar-benar dibuat panik menghadapi keadaan putriku. Suhu badannya normal-normal saja, kondisi fisiknyapun tak ada yang aneh. Bahkan bubur susu yang aku suapkan tuntas habis tak tersisa, menunjukkan bahwa bayiku dalam keadaan sehat-sehat saja.


Sampai akhirnya beberapa orang tetanggaku yang tak tega mendengar tangisan Nadia segera turun tangan untuk ikut menenangkan aku dan juga Nadia. Dan yang membuatku dan beberapa orang tetanggaku heran, mejelang maghrib tangis Nadia semakin menjadi. Hatiku benar-benar kacau dibuatnya, hingga aku menangis karena terlalu panik.


Ketika adzan maghrib terdengar, tangis Nadia reda seketika. Namun setengah jam kemudian tangis itu kembali pecah. Aku yang baru saja menyelesaikan bacaan surat Yasinku bergegas mengendongnya dan kembali berusaha menenangkannya. Bahkan Rio ikut menangis menyaksikan adik satu-satunya menangis tanpa henti.

Dalam keadaan panik, tiba-tiba terdengar pintu rumahku diketuk dari luar. Dengan menggendong Nadia, segera kubuka pintu. Dua orang tetanggaku nampaknya datang bersama seorang lelaki tua berbaju dan bersorban serba putih.

"Maaf bu Randi, kenalkan ini pak Amir. Orang yang dianggap tua di kampung ini. Tadi saya datang ke rumah beliau supaya mau ke mari menjenguk ibu sama nak Nadia. Pak Amir, ini bu Randi yang saya ceritakan sama bapak tadi," ujar mang Didin salah satu tetanggaku yang baik hati itu.

Aku tersenyum mengangguk pada orang yang disebut pak Amir itu, dan segera kupersilahkan masuk ke dalam rumahku.

Setelah melihat keadaan rumah kontrakanku yang baru 3 bulan aku tempati ini, pak Amir segera memberikan beberapa do'a-do'a untuk Nadia. Kulihat bagaimana dia dengan khusuknya membaca do'a-do'a itu tanpa mengeluarkan suara dan meniup ubun-ubun Nadia yang kemudian nampak tenang dan tertidur pulas.

Dan sebelum meninggalkan rumahku, lelaki berpenampilan tenang itu menyarankan agar aku segera membuat selamatan agar tak ada gangguan dari manapun selama aku menempati rumah ini. Aku mengangguk menyetujuinya. Hingga pukul 10 malam mejelang suamiku pulang dari kantornya, para tamu itu berpamitan pulang.

Memang benar juga kata orang itu, bahwa kami harus mengadakan selamatan agar merasa nyaman di dalam rumah ini. Aku sengaja meminta suamiku mencari rumah kontrakan baru di daerah perkampungan, agar suasana dan udaranya bagus untuk pertumbuhan anak-anak kami terutama Nadia yang masih bayi. Dan suamiku mendapatkan sebuah rumah mungil di sebuah kampung yang masih sangat asri, namun banyak tetangga yang rumahnya berdekatan dengan rumah kami ini, sehingga suasananya tak terlalu sepi.

Beberapa hari pertama memang rumah itu terasa sangat dingin dan sunyi. Apalagi suamiku selalu berangkat ke kantornya pagi-pagi dan pulang larut malam karena jarak rumah kami dan tempat kerja suamiku lumayan jauh. Masih untung ada televisi yang bisa menjadi temanku dan Rio membunuh kesunyian itu. Hingga beberapa hari belakangan ini Nadia mulai rewel tanpa sebab dan memuncak di hari ini

Kembali aku baringkan tubuh lelahku di sebelah tubuh suamiku yang masih dalam posisi memunggungiku. Aku merasa begitu tenang karena Nadia sudah tertidur sangat pulas, juga Rio tidur tenang setelah diapun ketakutan dibuat oleh tangis adiknya.

Mataku menerawang ke atas, aku menarik nafas dalam-dalam dan berencana akan menceritakan kedatangan tamu tadi pada suamiku esok pagi. Angin di luar terdengar sangat kencang. Aku maklum, selain seharian hujan mengguyur bumi siang tadi, daerah yang kutempati ini ada di tepi persawahan.

Namun aneh, sepertinya angin tak hanya di luar saja. Aku bisa merasakan dingin yang luar biasa dan bunyi gemuruh angin terdengar jelas di seluruh ruangan rumahku. Tiba-tiba aku merasakan bulu kudukku meriding. Horden yang membatasi pintu antara kamarku dan ruang tamu nampak berkibar-kibar dengan kencang pula.


Aku merasakan suasana yang lain di dalam kamarku ini, entah apa itu. Lampu kamarku yang biasanya terang benderangpun meredup dengan tiba-tiba. Aku memang tak biasa memadamkan ataupun menggunakan lampu temaram untuk menerangi kamarku. Aku menoleh ke arah box di mana Nadia terbaring, namun bayi tercinta itu nampak masih tertidur dengan sangat pulas.

Aku menoleh sekeliling, terasa suara angin itu semakin kencang saja. Kutarik sebagian selimut yang menutupi tubuh suamiku, namun rasa dingin tak juga mau pergi. Sedangkan posisi suamiku masih tetap membelakangiku dengan dengkuran halusnya. Sesaat kurasa ada yang berkelebat dari balik horden pintu itu.

Ahh ... aku tak berkedip dibuatnya! Sebuah bayangan berbaju putih itu nampak separo tubuhnya tersamar kain horden. Di antara rasa takut yang mulai menjalar, ada pula rasa keingintahuanku akan bayangan itu. Bayangan itu masih tetap di sana, bahkan rambut panjangnya nampak pula berkibar bersama kibaran gaunnya.

Dia menatapku! Ya! wajah itu menatapku dengan senyum yang lebih pantas kusebut seringai!
Kupejamkan mataku, tapi entah kenapa rasanya mata ini tak mampu terpejam sama sekali. Dan anehnya, tubuhkupun terasa sangat susah aku gerakkan sedikitpun. Mataku tak mau lepas dari bayangan putih yang menyeringai itu.

Aku berusaha mengingat-ingat salah do'a yang juga sangat sulit keluar dari mulutku. Kutoleh suamiku, aku ingin membangunkannya, namun sungguh tangan inipun tak mampu kugerakkan. Tuhan tolong aku!


"Astaghfirullah ... laillahailallah ..." akhirnya aku berhasil mengucap kalimat sakti itu. Dan sungguh aneh, lampu di kamarku kembali benderang seperti semula dan deru angin dalam rumahkupun lenyap seketika. Aku kembali bisa menggerakkan tubuhku.

Dengan cepat kubangunkan suamiku dengan cara mengguncang-guncangkan lengannya. Suamiku menggeliat dan membalikkan tubuhnya menghadap ke arahku. Segera kuangkat lengan suamiku dan kususupkan wajahku ke dadanya.

"Pa peluk mama, pa" bisikku lirih, hatiku masih bergemuruh.

Nampak suamiku keheranan. Matanya setengah terbuka memandangku dan tersenyum.

"Kenapa ma?"

"Peluk mama, mama takut pa."

"Iya sini papa peluk, dah mama bobo' ya, papa tahu kok mama capek. Bobo' yaa ," ujarnya sambil merengkuh tubuhku dalam dekapannya. Dan aku membalas dekapan itu, sangat erat dan tak ingin melepaskannya. Karena aku merasa sangat nyaman dan terlindungi dalam kehangatan dada bidang lelaki yang kucintai ini.


Ah malam Jum'at ini, sungguh malam yang tak ingin kuulangi lagi ...


SEKIAN


spore, 121109
**DM**