tag:blogger.com,1999:blog-71605672421192804232024-03-12T17:38:07.598-07:00Imajinasi Dewi Maharanimeliarkan imajinasi agar menjadi sesuatu yang berartiDewi Maharani Soetegohttp://www.blogger.com/profile/12338305616158559722noreply@blogger.comBlogger15125tag:blogger.com,1999:blog-7160567242119280423.post-58302253382019300392009-11-15T15:54:00.000-08:002009-11-15T15:56:09.865-08:00PERMINTAAN ADINDAPermintaan Adinda<br />( cerpen oleh Dewi Maharani )<br /><br /><br />Entah sudah yang keberapa kali aku menulis tentang bungsuku ini. Rasanya tak pernah bosan aku membayangkan wajah lugunya, mengingat apa yang diucapkannya, nada bicaranya, yang semua itu selalu saja membuatku tersenyum sepanjang hari. Dialah Rakyan Trisyabhuana Adinda Maharani, putri kesayanganku yang akrab kusapa dengan panggilan sayang " Dinda ".<br /><br />Seperti hari kemarin saat aku berhasil menelponnya, karena saat hari raya pertama sepanjang pagi hingga siang hari aku tak juga bisa membuat panggilan ke Indonesia. Jaringannya terlalu padat seperti padatnya arus mudik di mana-mana. Malam hari aku berhasil menelpon rumah, namun Dindaku sudah tertidur pulas. Dan aku berjanji untuk menelponnya keesokan hari.<br /><br />Sore, sekitar pk. 4 wib aku kembali mencoba menekan nomor telepon rumah.<br /><br />" Assalamualaikum ... " sebuah suara menjawab dering teleponku. Aku tahu itu suara jagoan tengahku.<br /><br />" Wa'allaikumsalam sayang .. ini Adi kan ?"<br /><br />" Mama yaaa .. iya ini Adi. Mama mau ngomong sama Dinda ya ?"<br /><br />" Iya, Nak . Mana dia ?"<br /><br />" Lagi nyuci, Ma "<br /><br />" Haaaahh !! Lagi nyuciii ??! Dinda nyucii ??!!" tak sadar aku terpekik mendengar jawabannya.<br /><br />" Iya, emangnya kenapa Ma ?" ada keheranan dari nada suaranya.<br /><br />" Mana sini, mama mau ngomong. Suruh tinggal cuciannya," kataku tak sabar.<br /><br />Pikiranku menjadi kacau, yang ada dalam pikiranku adalah Dinda yang masih kecil itu mencuci baju. Oooh .. Gusti !<br /><br />" Assalamualaikum, mama ya ?" suara halus itu sejuk menyapaku.<br /><br />" Iya Nak. Dinda lagi ngapain sih ?"<br /><br />" Lagi nyuci, Ma " jawanya kalem.<br /><br />" Nyuci apa sayang ?"<br /><br />" Nyuci piring .. " Ooooh lega rasanya, ternyata ...<br /><br />" Oh, kirain mama nyuci baju."<br /><br />" Ya kadang-kadang nyuci baju juga kok, Ma."<br /><br />" Apa ?! Dinda nyuci baju ?! Bajunya siapa, bajunya Dinda ?!" kembali aku terlonjak.<br /><br />" Yaaa... baju semuanya. Akung, Uti, sama mas Adi juga."<br /><br />" Haahhh ??!!!" ini sih bukan lagi terlonjak, tapi double lonjak!<br /><br />Aku mecoba menata hatiku yang ingin meledak. Kuusap-usap dadaku yang terasa menyesak.<br /><br />" Kenapa harus Dinda yang nyuci baju, apa Dinda bisa, apa bersih ... trus kenapa bukan mbah Uti yang nyuci ?" bertubi-tubi pertanyaan keluar dari mulutku. Namun malaikat kecil itu sangat tenang menjawabnya.<br /><br />" Mbah Uti kan sudah tua, Ma. Kasian kalo nyuci banyak. Tangannya mbah Uti suka gemetaran kalo kecapekan". Mataku mulai merebak, dadaku semakin sesak.<br /><br />" Lha dulu kan ada yang suka bantu nyuci sih Nak " ucapku sambil menenangkan diri.<br /><br />" Sekarang kan lebaran Ma, ya semua orang kan repot. Lha kalo bajunya gak dicuci sampai seminggu nanti gimana coba ?" Duh anakku ...<br /><br />" Dinda umur berapa sih sekarang, Dinda sekolahnya kelas berapa?" pertanyaan bodoh itu keluar dari mulut seorang ibu pada anaknya.<br /><br />" Dinda kan sudah 9 tahun Ma, sudah kelas 5 sekarang. Kan sudah pinter bantu mbah Uti." Mama tahu nak, jawabku dalam hati.<br /><br />" Iya, tapi kalau nyuci baju, mama gak setuju sayang. Dinda masih terlalu kecil, Nak " aku betul-betul sudah tak kuasa menahan isak ini.<br /><br />" Ya pelan-pelan gak papa kok ma. Sedikit-sedikit aja kok. Mas Adi kan tugasnya nyapu sama ngepel, sama nyuci kamar mandi, lha Dinda kan nyuci piring sama nyuci baju, yang masak tetep mbah Uti kok ."<br /><br />" Iya, iya nak .. " aku tak kuasa meneruskan kata-kataku lagi.<br /><br />Sejenak aku terdiam, membayangkan putriku yang saat itu kutinggalkan belum genap berusia 4 tahun, dan saat keberangkatanku yang kedua, usianya baru 6 tahun. Sekarang diusia yang ke 9 tahun, aku belum bisa membayangkan sebesar dan setinggi apa dia. Malah kini dia sudah bisa mencuci baju, sebuah pekerjaan yang bagiku sangat melelahkan. Karena aku sendiri baru belajar mencuci bajuku ketika berusia 14 tahun. Ya Tuhan ...<br /><br />" Mama kok diam ?"<br /><br />" Eh iya sayang, gak kok. Dinda sudah ma'em ?" aku sudah tak tahu lagi harus bicara apa. Perasaanku bercampur aduk saat ini. Kucoba kembali menata hatiku perlahan sambil kupejamkan mata sejenak,dan menarik nafas panjang setelah kemudian kuhembuskan perlahan.<br /><br />" Ma, kenapa mama harus pulang Desember? Kalau Oktober aja gimana,Ma?" suara lembut itu kembali memberi sebuah pertanyaan.<br /><br />" Mama baru dapat cutinya Desember sayang "<br /><br />" Ya minta Oktober aja dong, Ma .."<br /><br />" Gak bisa, sudah aturannya begitu "<br /><br />" Ya protes dong, Ma !"<br /><br />" Hahaha ... kamu ini ada-ada saja Dinda, memangnya main bola ya, pake protes ?" aku tertawa geli mendengar kata-katanya.<br /><br />" Hehehe .. kan Dinda sudah kangen sekali sama mama. Wajah mama saja Dinda gak tahu sekarang gimana. Eh, wajah mama sekarang gimana sih Ma ?"<br /><br />Waduh! kembali malaikat kecil ini menohok hati mamanya. Aku masih belum sempat menjawabnya, ketika kembali tohok yang kesekian dihantamkannya.<br /><br />" Tahu gak, Ma .. kalau pas pengambilan buku raport di sekolah, temen-temenku selalu nanya, kok mama kamu gak pernah datang ngambil raport ? Kayak apa sih wajah mama kamu, Din?"<br /><br />" Ohya ?" hanya kalimat pendek itu yang mampu keluar dari bibirku.<br /><br />" Iya Ma, masa' dari Dinda kelas 1 sampai mau kelas 6, mama gak pernah ngambilin raportnya Dinda. Gak seperti temen-temen yang lainnya"<br /><br />Rasanya tak perlu lagi aku menjelaskan, bagaimana dia harus menjawab pertanyaan teman-temannya. Dan tak perlu lagi harus kujelaskan mengapa perempuan yang dipanggilnya mama ini tak pernah bisa hadir di sekolahnya saat pengambilan buku raport. Dinda tak akan pernah lupa apa yang pernah aku ucapkan setiap kali aku menelponnya. Aku tahu ini hanyalah ungkapan kecil di antara kerinduannya selama ini. Maafkan mama, Nak.<br /><br />" Dinda sabar saja ya, sayang. Desember gak lama kok nak. Dinda minta apa kalau mama pulang nanti ?" kucoba menghiburnya dan mungkin juga mencoba menghibur hatiku.<br /><br />" Minta apa yaa ... " sejenak jawaban itu menggantung, lalu ...<br /><br />" Oya Ma, Dinda minta mesin cuci aja ya ?"<br /><br />Ops! Aku tertawa, " Mesin cuci ?"<br /><br />" Iya, supaya nanti mbah Uti gak usah nyuruh-nyuruh orang buat nyuci'in baju lagi. Wong nyucinya juga gak bersih kok, bayarnya mahal lagi. Kan duitnya bisa dikumpulin daripada buat membayar orang. Nanti kalau Dinda sekolah siapa yang mau nyuci baju, kan kasian kalau mbah Uti yang nyuci, kalau Dinda sekolah nanti kan capek Ma "<br /><br />Duh, anak siapa ini ? Aku bahkan tak pernah punya pemikiran secerdas anakku sendiri, yang masih berumur 9 tahun! Masyaallah ....<br /><br />" Iya .. iya sayang, nanti pasti mama belikan yaa. Sekalian aja kalau mama pulang ya, nanti Dinda yang milih mesinnya ya ?"<br /><br />" Makasih ya Ma "<br /><br />" Iya, trus buat Dinda sendiri apa?" tanyaku kemudian.<br /><br />" Apa ya .. ," kembali terhenti sejenak, lalu ..<br /><br />" Bisa gak Dinda minta .... kalau mama pulang nanti jangan berangkat ke Singapura lagi ?"<br /><br />Aku menghela nafas sebentar sebelum kujawab pertanyaannya.<br /><br />" Kan mama harus kerja, Nak. Dinda kan sudah tahu kalau mama harus bekerja "<br /><br />" Iya, tapi kan kerja di Indonesia juga bisa kan, Ma ? Tuh temen-temenku, ibunya juga gak ada yang ke Singapura kerjanya"<br /><br />Anakkuuuu ... siapa yang mengajarimu bicara sekritis ini, Nak ?! jeritku dalam hati.<br /><br />" Ya Ma yaa ... boleh gak, Ma ?" dan suara malaikat kecilku kembali terdengar. Aku sedikit tergagap menjawabnya.<br /><br />" Iya iya .. nanti kita bicarakan lagi ya kalau mama sudah pulang,"<br /><br />" Iya ma. Janji ya, ma ? Ohya ... selamat hari raya ya ma, hehehe sampai lupa Dinda. Maaf lahir bathin ya ma "<br /><br />Iya nak, maafkan mamamu juga, lahir dan bathin ...<br /><br /><br />spore,230909<br />** DM **Dewi Maharani Soetegohttp://www.blogger.com/profile/12338305616158559722noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7160567242119280423.post-25275668324724654842009-11-15T15:53:00.000-08:002009-11-15T15:54:18.759-08:00SEBAIT SAJAK DARIMUSebait Sajak Darimu, Ay ...<br />[cerpen oleh Dewi Maharani ]<br /><br /><br /><br />"kulihat dermaga di matamu<br />dalam pelayaran sepiku<br />bersama cemas meremas<br />kutitipkan setetes asa pada rahimmu<br />kenanglah selalu cintaku yang kekal<br />karena selalu ada kau di detak jantungku,<br />rinduku ..."<br /><br /><br />Sebait sajak yang kau tulis ini masih kupadangi, kubaca lagi, kuulang dan terus kuulang.<br />Kertas putih berhias huruf-huruf indah ukiran tanganmu yang semakin basah oleh tetes demi tetes airmata yang tak juga mau berhenti ini bergetar dalam genggaman tanganku. Perlahan kuletakkan kertas yang hampir koyak itu di atas meja, bersamaan itupula kuletakkan kepalaku berbantal lipatan pergelangan tangan dan kembali kulepaskan tangis yang sedari tadi berupa isak. Dadaku sesak, sangat sesak, tubuhku terguncang hebat sehebat guncangan berita-berita gempa yang memporak porandakan ranah Minang.<br /><br /><br />Inikah arti dari sajak itu? Inikah misteri yang harus kuungkap dari untaian kata-kata indah yang selama ini menjadi pertanyaanku? Cemasmu yang meremas hati saat mengungkapkan cinta padaku, inikah jawabannya? Tapi kenapa harus sekarang, di saat cinta telah mengurat dalam jiwaku, di saat hati telah melekat padamu. Saat biduk perlahan telah mulai kita rakit walau tetap kulihat kekhawatiranmu setiap kali menatapku. Kenapa ... kenapa???!!! Hatiku histeris, belati itu kembali mengiris. Darah ... aku melihat darah mengucur dari jantungku yang repih. Perih ini sebenar perih!<br /><br /><br />Kejujuranmu terlambat, Ay. Kejujuran yang kau balut dengan dusta, apalah artinya? Bagiku sama saja, karena pada akhirnya terkuak juga semuanya. Aku bukanlah gadis ingusan yang akan diam dengan kejujuran palsumu, airmata imitasi yang kau anggap bisa menguatkan sandiwaramu. Semuanya omong kosong yang membuatku semakin merasa tercabik-cabik setelah kau tersudut dengan semua pertanyaanku. Semakin kau kewalahan menjawabnya, bagiku semakin ingin kukoyak kebohonganmu.Semakin kau menyuruhku berhenti, semakin aku tak kuasa mengendalikan diri untuk menggali semua dusta yang telah berani kau mulai.<br /><br /><br />Ingat Ay, siapa menabur angin maka bersiaplah menuai badai! Dan kau tahu bagaimana diriku, dan kau tahu bagaimana sikapku pada sebuah kebohongan. Dan kau sangat-sangat tahu bagaimana amarahku jika sudah meluap. Seluruh dunia akan ikut merasakan sakitnya sayatan belati di hatiku, Ay! Alam akan turut menangis melihat genangan bening yang tak henti mengaburkan pandanganku. Seperti saat seluruh penghuni alam akan sangat bersuka cita bila aku berbahagia. Kau harus menerimanya, sakitmu yang tak sedalam tusukan pedang di ulu hatiku, rasa malumu yang tak sebesar maluku yang telah menepatkan dirimu sebagai lelaki paling sempurna di atas dunia. Apalagi? Masihkah kau tanyakan keadilan pada diriku, sementara luka ini entah bila akan mengering?<br /><br /><br />Tanyakan pada dirimu Ay, hukuman apa yang pantas kau terima? Jangan salahkan jika semua mata memandangmu sebagai pecundang, walau sudah kukatakan akulah sang pecundang itu! Akulah yang terlalu bodoh, yang terlalu lekas terbuai oleh manis lidahmu dan teduhnya tatapan matamu. Akulah yang begitu mudah terlena oleh kenyamanan bahu yang kau berikan padaku untuk bersandar. Akulah yang tak sadar bahwa ada perempuan di balik dunia lain yang selalu menantikan belaian kasihmu dengan sabar. Aku terhenyak, saat kau katakan bahwa ada dia yang selama ini kau sembunyikan.<br /><br /><br />Gempa itu tak hanya mengguncang bumi Padang Ay, namun mengguncang hebat batinku! Meluluhkan tulang-tulang yang menyangga tubuhku, menggelapkan pandanganku, menghancurkan semua sendi yang merangkai ragaku. Aku memekik pada langit yang memandangku muram, " Tuhan, apa arti semua ini???!!!!"<br /><br /><br />Semuanya sudah tak berarti Ay, walau kau berlutut di kakiku tanpa hendak beranjak. Hatiku telah terkunci mati untuk ma'afmu yang setiap detik kau ucapkan. Gudang batinku sudah meluap dengan kata-kata ma'afmu yang entah harus kuletakkan di mana ma'af yang tercecer itu. Aku tak butuh lagi kata-kata itu. Semua sudah terjadi, aku tak pernah ingin menjilat ludah yang pernah aku buang di tanah. Kau tahu betapa bencinya aku dengan poligami, dan bagai racun kau tawarkan kebencian itu dengan nampan kepalsuanmu.<br /><br /><br />Sebait sajak di atas kertas itu mulai terkoyak, perlahan dan perlahan tinta emas itu mengabur untuk dipandang. Kuraih kertas yang selama ini kujaga rapi dalam kesucian hati. Kuremas tanpa rasa cemas seperti kecemasanmu saat menitipkan asa pada rahimku. Dengan airmata yang mulai mereda dan luka yang entah bila akan datang obatnya, sebait sajak itu kujadikan repihan-repihan dan kubiarkan terbang bersama hembusan angin menjelang mentari terbenam. Dan pedih ini mengiringi setiap baris kata yang masih tertinggal dalam ingatan ....<br /><br /><br />"kenanglah selalu cintaku yang kekal<br />karena selalu ada kau di detak jantungku"<br /><br /><br />Masihkah harus kukenang Ay, jika setiap hela nafas adalah sayatan belati yang kurasakan ..?<br /><br /><br />Dan ingatlah Ay, bahwa sekarang bukan jamannya Rosul lagi. Dan aku bukanlah Khotidjah ataupun Aishah yang bisa ikhlas serta tawadu' untuk berbagi suami.<br /><br /><br /><br /><br />spore, 181009<br />Dewi MaharaniDewi Maharani Soetegohttp://www.blogger.com/profile/12338305616158559722noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7160567242119280423.post-72307500290757979112009-11-15T15:50:00.000-08:002009-11-15T15:52:54.816-08:00KISAH LENGKING PURNAMAKisah Lengking Purnama<br />cerpen oleh Dewi Maharani<br /><br /><br />Kisah ini hanyalah kau dan aku yang tahu, mengerti dan memahami, mengapa sampai perjalanan sebuah pencarian yang tak pernah selasai ini terjadi.<br /><br /><br />Senja merayap perlahan namun pasti menuju malam, bersama lingkar emas purnama yang mulai mempertontonkan keanggunannya di tengah kerlipan para bintang. Indah langit tak seindah suasana bathinnya, yang selalu gulana di awal purnama hingga harus dengan rela melepas masa dengan sia-sia.<br /><br /><br />Dia tergantung di tengah sebuah pintu yang membuatnya tak bisa memasuki dua dunia, ada yang belum terselesaikan yang membuatnya mampu bertahan menggerayang malam dengan kidung-kidung pilu yang menyayat kalbu.<br /><br /><br />Ya, perempuan berkebaya dan beralas sandal terompah itu, entah sudah berapa puluh tahun mengitari sepanjang pinggiran Sungai Putih, nama sungai di sebuah desa yang tak pernah nampak ada kehidupan jika purnama menjelang. Seolah sudah menjadi kebiasaan bagi warganya untuk segera menutup pintu dan jendela rapat-rapat selepas maghrib, tak terkecuali.<br /><br /><br />Dan para ibu akan segera meninabobokan bayinya juga anak-anak dibawah umur sesudah isya. Karena mejelang tengah malam para orang dewasa akan segera memasang telinganya untuk sebuah senandung memilukan yang secara perlahan akan terdengar mendekat, semakin dekat dan dekat. Namun suara yang berasal dari tepi sungai itu, yang mulanya hanyalah sebuah gumam tak jelas, menjadi sebuah kidung yang masih seperti gumaman dan secara perlahan akan berubah menjadi lengking tangisan yang membuat bulu kuduk bergetar.<br /><br /><br />Seperti saat ini, gerbang tengah malam mulai terbuka oleh hembusan angin dengan semilir yang tak biasa. Kepak kelelawar menyambut keheningan, menghentikan suara riang jangkrik-jangkrik hutan yang segera bersembunyi dibalik tebal rerumputan liar. Senandung itu mulai terdengar, menggema menembus pekat kabut malam dan memantul dari batang-batang pohon jati yang mngelilingi tepian Sungai Putih.<br /><br /><br />" Thok, thok ... thok, thok!"<br /><br />Bunyi terompah kayu memecah kesunyian menandakan sang empunya sedang melintasi jalan beraspal di jembatan yang berada di atas sungai itu. Kebaya dengan motif bunga-bunga dengan kain batik yang melilit di tubuhnya, serta kerudung biru yang dikenakannya nampak berkibar-kibar tertiup desah angin malam. Dia akan terus berjalan, dan berjalan mengelilingi sepanjang tepian Sungai Putih sambil tak henti bersenandung.<br /><br /><br />Setiap malam hingga pagi saat sinar bulan menghilang, dia tak akan pernah menghentikan langkah kakinya. Senandung pilu yang didengungkannya akan menjadi lengking tangisan mejelang subuh tiba. Sesudah itu ia akan menghilang dan kembali muncul menjelang tengah malam hingga purnama tak lagi menghiasi langit setelah tujuh hari.<br /><br /><br />Tak ada yang tahu siapa dia, perempuan berkebaya dan berkerudung biru yang selalu membayangi keheningan di desa itu.<br />Suara terompah kayunya dan senandung yang selalu berubah menjadi lengkingan pilu hanya akan berhenti sejenak, jika ia berpapasan dengan seseorang yang melintas di tengah jembatan itu. Dengan keanggunanya ia akan mendekat dan suara halus dari bibir merah merekah itu akan segera menyapa ...<br /><br /><br />" Namaku Jantini, tolong aku kisanak. Adakah kisanak melihat sebuah selendang sutera berwarna ungu? Tolonglah kisanak, jika engkau menemukannya segera kembalikan kepadaku. Aku sudah mecarinya berpuluh-puluh purnama di sini, namun hingga kini tak juga aku temukan selendang kesayanganku itu. Tolonglah kisanak, aku sangat lelah, terlampau lelah."<br /><br /><br />" Aku ingin segera menemui kekasih hatiku. Namun tanpa selendang itu, aku tak bisa bertemu dengannya. Karena selendang itu adalah hadiah tanda cinta darinya, yang akan kukenakan sepanjang hidupku. Karena tanpa selendang itu, kekasihku tak percaya bahwa aku masih sangat mecintainya."<br /><br /><br />" Kisanak, di mana selendang itu? Katakanlah, aku sudah tak punya cukup waktu. Aku ingin melepaskan rindu pada kekasihku yang telah lama menunggu di pintu nirwana. Kekasihku yang malang, dia meregang nyawa saat hendak melindungiku dari para lelaki bejat yang merobek-robek keperawananku dan melemparkan tubuh kami pada derasnya aliran sungai ini!"<br /><br /><br />Dan suara lantang itu kembali menjadi lengking tangis dan tawa bengis. Tak akan pernah ada yang bisa kembali jika melintasi jembatan itu, karena mereka tak akan pernah bisa menemukan selendang sutera ungu yang diinginkan Jantini. Dan tubuh para lelaki malang itu akan diketemukan mengambang setelah beberapa hari hanyut ditelan derasnya aliran Sungai Putih yang selalu meminta korban setiap purnama datang.<br /><br /><br />SEKIAN<br /><br /><br />spore, 061109<br />** DM **Dewi Maharani Soetegohttp://www.blogger.com/profile/12338305616158559722noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7160567242119280423.post-62391040926880561972009-11-15T15:48:00.000-08:002009-11-15T15:50:14.426-08:00BAYANGAN ITUBAYANGAN ITU<br />[cerpen oleh Dewi Maharani]<br /><br /><br /><br />"Aku perempuan normal, Tia. Bagaimanapun juga aku tetap membutuhkan lelaki dalam hidupku."<br /><br /><br />Kalimat singkat dan datar itu keluar dari bibir tipis kak Hani. Perempuan cantik yang telah mengangkatku menjadi adiknya sejak 5 tahun lalu. Sambil mematikan bara dari sampoerna merah yang tinggal setengah centi pada asbak di atas meja kayu yang berada persis di depanku.<br /><br /><br />Sambil kembali memoleskan kuasnya pada lukisan yang aku sendiri tak mengerti apa sebenarnya gambar yang akan dilukisanya itu, perempuan yang sangat mencintai seni itu melanjutkan kata-katanya,<br /><br /><br />"Life must go on, buat apa kita meratapi sebuah kegagalan. Jangan pernah menyerah, karena yang meninggalkan kita berarti memang bukan hak kita. Jika masih ada cinta yang bisa kita rasakan, bersyukurlah. Karena itu adalah suatu anugerah tersendiri dari Gusti Allah."<br /><br /><br />"Kakak nggak capek disakiti hatinya terus sama lelaki-lelaki tak tahu di untung itu?" tanyaku kesal.<br /><br /><br />"Lelaki memang hanya tahunya menyakiti perempuan, baik secara fisik maupun batin. Begitukah Gusti Allah menciptakan makhluk yang berjenis kelamin lelaki? Cinta? Hahh! itulah senjata mereka untuk menjerat perempuan dan memuaskan apa yang diinginkannya. Setelah itu, tendang!" tak sadar nada suaraku mulai meninggi.<br /><br /><br />Benar-benar aku tak mengerti jalan pikirannya. Dengan kesal kuraih sebatang sampoerna yang masih tersisa beberapa di dalam kotak pembungkusnya. Kunyalakan api, kuhisap dalam-dalam sebagaimana cara kak Hani bila sedang menikmati asap nikotin kesukaannya ini. Namun aku tak selihai dia, dadaku terasa sesak dan aku terbatuk hebat hingga hampir muntah.<br /><br /><br />"Kalau nggak tahu bagaimana cara menikmati asap, nggak usah coba-coba. Minum air putih sana, kamu pikir setiap orang bisa dan tahu bagaimana merokok?" ujarnya sambil mengambill alih batang rokok yang ada di sela jemariku dan kemudian dihisapnya dengan penuh kenikmatan, itu yang aku pikirkan bila melihat bagaimana perempuan semampai ini memperlakukan sebatang rokok berujung bara itu.<br /><br /><br />Aku menurut. Ya, aku memang selalu menuruti apa yang dikatakannya. Sejak kami berkenalan di sebuah rumah makan lesehan beberapa tahun lalu, aku sudah mengaguminya. Saat itu aku yang baru berusia hampir 15 tahun, dengan penampilanku yang dekil dan awut-awutan menyanyikan sebuah lagu balada dengan gitar butut pemberian seorang teman di depannya.<br /><br /><br />Aku memang hanya seorang anak jalanan yang bertahan hidup dengan mengamen dari rumah makan satu ke rumah makan lainnya, di kawasan yang sangat strategis di sebuah jalan di Yogyakarta.<br />Semenjak aku melarikan diri dari rumah, di mana aku selalu melihat ibuku disiksa oleh ayah tiriku yang sangat ringan tangan dan bengis, bahkan aku sendiripun selalu kena hardik keras jika membantah kata-katanya, kadang jika emosinya sedang tinggi tak urung sebuah tamparan keras akan melayang di mukaku hingga aku terpelanting.<br /><br /><br />Sebenarnya aku masih bisa bertahan dengan keadaan itu, walau kebengisan ayah tiriku yang menikahi ibu setelah 2 tahun ayahku meninggal karena penyakit gagal ginjal yang tak bisa terobati, aku masih bisa merasakan kelembutan dan kasih sayang ibu. Namun setelah lelaki jahanam yang juga paman tiriku, adik kandung ayah tiriku memporak porandakan masa depanku di suatu malam, hidupku selalu dihantui ketakutan yang luar biasa.<br /><br /><br />Peristiwa yang akhirnya kini menjadikanku trauma dan membenci para lelaki terus membayangi langkahku. Aku saat itu yang baru berusia 13 tahun, menjadi korban pelampiasan nafsu bejat seorang lelaki yang seharusnya sangat aku hormati. Dan yang menjadikanku semakin ketakutan, karena lelaki itu mengancam akan membunuhku jika aku menceritakannya pada ibu.<br /><br /><br />Aku tak tahu harus bagaimana, selain aku takut dengan ancamannya, lelaki pengangguran itu tak hanya sekali dua kali melakukan pemerkosaan terhadapku. Aku hidup tak bisa di bawah ketakutan dan ancaman yang terus menghantuiku, dan hanya dengan jalan meninggalkan rumah sejauh-jauhnya, aku merasa akan aman dan terbebas dari nafsu binatangnya.<br /><br /><br />"Melamun lagi kan ?" suara kak Hani membuyarkan bayangan hitam yang sedang kembali menghampiriku.<br /><br /><br />Aku mendongak memandang perempuan berhati samudra ini sambil tersenyum.<br /><br /><br />"Apa senyum-senyum? Ngelamunin apa, ngelamunin si Rudi apa si Najib?" tanyanya sambil mengikat rambut legamnya yang indah sebahu itu.<br /><br /><br />"Puih! Sorry la yauw! Nggak ada kamus lelaki dalam hidupku. Sekali nggak tetep nggak, titik!" jawabku ketus. Kuraih gitar pemberian kak Hani kado ulang tahun saat usiaku genap 15 tahun, dan dengan gaya khasku yang berhasil memikat perhatian kak Hani dan teman-temannya, kumulai memetik dawai-dawai gitar itu dan mengalunkan sebuah lagu balada dari penyanyi favoriteku Franky & Jane.<br /><br /><br />Kulihat kak Hani hanya menghela nafas panjang, kemudian dengan santai ia duduk bersila di depanku. Meraih sebatang rokok dan menyulutnya. Aku tetap menikmati petikan gitar dan lagu yang kunyanyikan. Sambil menandaskan sisa kopi yang masih tersisa di dalam cangkir, mata indah kak Hani menatapku lekat-lekat. Aku merasa jengah dibuatnya, dan seketika aku hentikan petikan gitarku.<br /><br /><br />"Apa sih kak ngliatin gitu, ada yang aneh atau salahkah diriku ini?" tanyaku ala telenovela.<br /><br /><br />Tangannya meraih kedua telapak tanganku, digenggamnya penuh kehangatan. Dan masih dengan tatapan teduhnya, perempuan tegar ini berujar,<br /><br /><br />"Kamu masih sangat muda untuk menentukan sebuah sikap, Tia. Masih banyak waktu untukmu belajar banyak tentang orang-orang di sekitarmu. Kamu anak yang cerdas dan sangat berbakat, walau pendidikanmu hanya sekolah dasar, tapi kamu punya sebuah kemauan besar untuk merubah hidupmu. Itu yang aku suka darimu."<br /><br /><br />Aku tersenyum walau belum mengerti benar arah bicaranya. Kemudian sambil menyandarkan punggungnya di tembok bercat biru muda, kak Hani melanjutkan bicaranya.<br /><br /><br />"Aku tahu kamu masih dihantui masa lalumu, tapi aku juga sangat yakin bahwa semua itu akan berlalu, seiring berjalannya waktu. Dengan terus aktif ikut kegiatan sanggarku dan terus aktif dengan kegiatan bandmu, aku yakin suatu saat kau akan menjadi perempuan yang sesungguhnya."<br /><br /><br />"Kau akan matang dengan didikan alam, jangan jadikan masa lalumu sebuah trauma berkepanjangan. Jadikan semua itu pembelajaran untuk langkahmu ke depan. Berjanjilah padaku, kau bisa merubahnya, ya?"<br /><br /><br />Aku mengangguk perlahan, kurasakan ada yang hangat mengalir di kedua pipiku. Perempuan yang kuanggap dewi dalam kehidupanku itu aku peluk. Dengan kelembutannya kurasakan belaian jemarinya pada rambutku. Hanya dia yang kupunya saat ini, aku menatap matanya dan memberinya anggukan penuh kepastian.<br /><br /><br />****************************<br /><br /><br />Gerimis masih saja tak mau berhenti dari petang tadi hingga menjelang tengah malam ini. Matakupun masih belum juga menunjukkan tanda-tanda minta diistarahatkan. Aku berdiri terpaku di depan cermin di sebelah jendela kamarku. Kupandang sosok perempuan muda seusiaaku yang berada di dalam cermin itu.<br /><br /><br />Aku tersenyum, nampak diapun membalasku tersenyum. Sungguh manis senyuman itu. Rambut panjang tipis sebahunya sama persis dengan yang aku punya. Saat tanganku mencoba menyentuhnya, diapun melakukan hal yang sama. Telapak tangan kami bersentuhan namun kaca cermin itu membatasi kami untuk bisa saling berpegangan.<br /><br /><br />Tiba-tiba, aku melihat sosok yang sangat kukenali berdiri di belakang gadis itu. Sosok lelaki berkumis tebal itu tersenyum sinis dengan wajah bengisnya. Bukankah dia ayah tiriku? Tak hanya itu, akupun melihat sosok lain yang juga muncul di belakang lelaki bengis itu. Lelaki kurus berambut keriting itu .... bukankah dia si jahanam berhati binatang yang telah menghancurkan masa kanak-kanakku?<br /><br /><br />Aku mulai panik, dan kulihat gadis di dalam cermin itu juga terlihat cemas namun tak juga beranjak daru tempatnya berdiri. Belum sempat aku memekik menyuruhnya segara berlari, tiba-tiba di belakang kedua lelaki berjiwa iblis itu muncul sosok perempuan dengan rambut panjang terurai dan baju daster compang-camping. Aku bisa melihat tubuh kurusnya dan wajah yang sangat pias serta sayatan-sayatan luka di kedua lengannya.<br /><br /><br />Ya Tuhan, bukankah itu ibu?! Yaa! Perempuan itu ibuku, tubuhnya menyandar di tembok dan wajahnya terlihat menahan rasa sakit yang luar biasa. Aku ingin berteriak memanggilnya, tapi sungguh bibirku tiba-tiba terkunci rapat. Aku ingin memberi tahu gadis di dalam cermin itu, namun diapun sepertinya hanya bisa menatapku dengan penuh kecemasan tanpa mau menoleh ke belakang.<br /><br /><br />Aku semakin panik melihat wajah-wajah beringas yang tersenyum memuakkan, dan ibu yang aku yakin sangat memerlukan pertolonganku. Kakiku bahkan seperti terpaku di lantai tempatku berpijak.<br />Dan wajah-wajah itu semakin mendekat dan mendekat, mereka masih saja tersenyum bahkan lelaki berkumis tebal itu mulai tertawa dan diikuti tawa adik lelakinya yang semakin membahana.<br /><br /><br />Aku ingin segera lari dari depan cermin ini, namun gadis di dalam cermin itupun masih nampak ketakutan dan tak bisa ke mana-mana. Wajah gadis itu, wajah ibu dan wajah-wajah bengis di depanku semakin mendekatiku. Kutarik rambutku, kututupi kedua telingaku, aku bergidik sangat takut. Kututupi wajahku dengan telapak tangan, kemudian dengan sekuat tenaga aku memekik keras, sangat keras hingga duniaku tiba-tiba terasa gelap.<br /><br /><br />Dan aku tak tahu lagi di belahan dunia sebelah mana aku kini berada ...<br /><br /><br />SEKIAN<br /><br /><br />spore, 121109<br />**DM **Dewi Maharani Soetegohttp://www.blogger.com/profile/12338305616158559722noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7160567242119280423.post-37120460570115404312009-11-15T15:46:00.000-08:002009-11-15T15:47:51.567-08:00MALAM JUM'ATMALAM JUM'AT<br />[cerpen special malam Jum'at oleh Dewi Maharani]<br /><br /><br />"Ayolah ma, papa pingin sekali. Sekali saja ma, dah itu mama boleh istirahat," suamiku masih saja berusaha berusaha merayuku.<br /><br />Aku tetap menolaknya dengan alasan yang menurutku dia mau mengerti. Tapi tetap saja dengan nada merengek seperti bocah 5 tahun yang menginginkan sesuatu, lelaki yang telah memberiku 2 orang buah hati ini terus menarik-narik ujung lengan baju tidurku.<br /><br />"Malam jum'at lho, ma," ujarnya sambil membalikkan tubuhku untuk menghadap ke arahnya.<br /><br />"Iya mama tahu, pa. Memangnya kalau istri papa capek, tetep harus memenuhi permintaan papa?" kataku sambil menarik selimut untuk menutupi tubuhku berusaha menghindar dari gerilya jemari tangan suamiku.<br /><br />"Mama kan tahu kalau malam jum'at itu malam sunah, ma. Dosa lho kalau menolak," kembali suamiku pantang menyerah sambil melingkarkan kedua tangannya pada pinggangku.<br /><br />Aduh, kesabaranku benar-benar diuji rupanya. Aku balikkan badanku dan kemudian aku bangkit dan duduk di tepi ranjang. Dengan kesal kutatap wajah suamiku yang juga menatapku tak mengerti.<br /><br />"Mama tahu pa ini malam Jum'at. So kenapa jika mama menolak? Salahkah mama menolak kalau mama merasa sangat penat dan kepala ini terasa berat? Kenapa sih papa egois gitu?!" nada suaraku sedikit meninggi menahan kekesalan.<br /><br />"Papa nggak tahu seharian Nadia terus saja menangis tanpa sebab. Mama sudah berusaha bagaimana supaya anak itu diam, tapi dia terus saja menangis tanpa mau sekejappun lepas dari gendongan mama. Sementara mama juga harus mengantar dan menjemput Rio, dan merampungkan semua pekerjaan rumah. Papa nggak ngrasain betapa capeknya mama, please lah pa. Kali ini saja mama menolak. Bolehkan ?"tak kuasa aku menahan emosi untuk menjelaskan kepada suamiku alasan apa hingga aku menolak menjalankan kewajibanku kali ini.<br /><br />"Okelah okelah terserah mama. Malam-malam nggak usah ribut-ribut gitu, nanti tetangga pada dengar, malu-maluin aja. Dah, papa mau tidur!" jawab suamiku sambil menarik selimut dan membalikkan badannya memunggungiku.<br /><br />Aku tergugu memandang tubuh gagah yang kemudian diam dan mulai memperdengarkan dengkuran halusnya. Aku tahu suamiku pasti sangat kecewa dengan penolakankun ini. Tapi aku sungguh merasa lelah yang tak tertahankan.<br /><br />Sedari pagi, sepeninggal suamiku berangkat ke kantornya dan setelah aku mengantarkan Rio, sulungku pergi ke sekolah, Nadia putri keduaku yang baru berusia 9 bulan itu menangis tanpa tahu sebabnya. Segala usaha telah aku lakukan untuk meredakan tangisnya, tapi hanya beberapa menit dia terdiam kemudian tiba-tiba tangisnya kembali pecah seakan ada sesuatu yang menyakitinya.<br /><br />Aku benar-benar dibuat panik menghadapi keadaan putriku. Suhu badannya normal-normal saja, kondisi fisiknyapun tak ada yang aneh. Bahkan bubur susu yang aku suapkan tuntas habis tak tersisa, menunjukkan bahwa bayiku dalam keadaan sehat-sehat saja.<br /><br /><br />Sampai akhirnya beberapa orang tetanggaku yang tak tega mendengar tangisan Nadia segera turun tangan untuk ikut menenangkan aku dan juga Nadia. Dan yang membuatku dan beberapa orang tetanggaku heran, mejelang maghrib tangis Nadia semakin menjadi. Hatiku benar-benar kacau dibuatnya, hingga aku menangis karena terlalu panik.<br /><br /><br />Ketika adzan maghrib terdengar, tangis Nadia reda seketika. Namun setengah jam kemudian tangis itu kembali pecah. Aku yang baru saja menyelesaikan bacaan surat Yasinku bergegas mengendongnya dan kembali berusaha menenangkannya. Bahkan Rio ikut menangis menyaksikan adik satu-satunya menangis tanpa henti.<br /><br />Dalam keadaan panik, tiba-tiba terdengar pintu rumahku diketuk dari luar. Dengan menggendong Nadia, segera kubuka pintu. Dua orang tetanggaku nampaknya datang bersama seorang lelaki tua berbaju dan bersorban serba putih.<br /><br />"Maaf bu Randi, kenalkan ini pak Amir. Orang yang dianggap tua di kampung ini. Tadi saya datang ke rumah beliau supaya mau ke mari menjenguk ibu sama nak Nadia. Pak Amir, ini bu Randi yang saya ceritakan sama bapak tadi," ujar mang Didin salah satu tetanggaku yang baik hati itu.<br /><br />Aku tersenyum mengangguk pada orang yang disebut pak Amir itu, dan segera kupersilahkan masuk ke dalam rumahku.<br /><br />Setelah melihat keadaan rumah kontrakanku yang baru 3 bulan aku tempati ini, pak Amir segera memberikan beberapa do'a-do'a untuk Nadia. Kulihat bagaimana dia dengan khusuknya membaca do'a-do'a itu tanpa mengeluarkan suara dan meniup ubun-ubun Nadia yang kemudian nampak tenang dan tertidur pulas.<br /><br />Dan sebelum meninggalkan rumahku, lelaki berpenampilan tenang itu menyarankan agar aku segera membuat selamatan agar tak ada gangguan dari manapun selama aku menempati rumah ini. Aku mengangguk menyetujuinya. Hingga pukul 10 malam mejelang suamiku pulang dari kantornya, para tamu itu berpamitan pulang.<br /><br />Memang benar juga kata orang itu, bahwa kami harus mengadakan selamatan agar merasa nyaman di dalam rumah ini. Aku sengaja meminta suamiku mencari rumah kontrakan baru di daerah perkampungan, agar suasana dan udaranya bagus untuk pertumbuhan anak-anak kami terutama Nadia yang masih bayi. Dan suamiku mendapatkan sebuah rumah mungil di sebuah kampung yang masih sangat asri, namun banyak tetangga yang rumahnya berdekatan dengan rumah kami ini, sehingga suasananya tak terlalu sepi.<br /><br />Beberapa hari pertama memang rumah itu terasa sangat dingin dan sunyi. Apalagi suamiku selalu berangkat ke kantornya pagi-pagi dan pulang larut malam karena jarak rumah kami dan tempat kerja suamiku lumayan jauh. Masih untung ada televisi yang bisa menjadi temanku dan Rio membunuh kesunyian itu. Hingga beberapa hari belakangan ini Nadia mulai rewel tanpa sebab dan memuncak di hari ini<br /><br />Kembali aku baringkan tubuh lelahku di sebelah tubuh suamiku yang masih dalam posisi memunggungiku. Aku merasa begitu tenang karena Nadia sudah tertidur sangat pulas, juga Rio tidur tenang setelah diapun ketakutan dibuat oleh tangis adiknya.<br /><br />Mataku menerawang ke atas, aku menarik nafas dalam-dalam dan berencana akan menceritakan kedatangan tamu tadi pada suamiku esok pagi. Angin di luar terdengar sangat kencang. Aku maklum, selain seharian hujan mengguyur bumi siang tadi, daerah yang kutempati ini ada di tepi persawahan.<br /><br />Namun aneh, sepertinya angin tak hanya di luar saja. Aku bisa merasakan dingin yang luar biasa dan bunyi gemuruh angin terdengar jelas di seluruh ruangan rumahku. Tiba-tiba aku merasakan bulu kudukku meriding. Horden yang membatasi pintu antara kamarku dan ruang tamu nampak berkibar-kibar dengan kencang pula.<br /><br /><br />Aku merasakan suasana yang lain di dalam kamarku ini, entah apa itu. Lampu kamarku yang biasanya terang benderangpun meredup dengan tiba-tiba. Aku memang tak biasa memadamkan ataupun menggunakan lampu temaram untuk menerangi kamarku. Aku menoleh ke arah box di mana Nadia terbaring, namun bayi tercinta itu nampak masih tertidur dengan sangat pulas.<br /><br />Aku menoleh sekeliling, terasa suara angin itu semakin kencang saja. Kutarik sebagian selimut yang menutupi tubuh suamiku, namun rasa dingin tak juga mau pergi. Sedangkan posisi suamiku masih tetap membelakangiku dengan dengkuran halusnya. Sesaat kurasa ada yang berkelebat dari balik horden pintu itu.<br /><br />Ahh ... aku tak berkedip dibuatnya! Sebuah bayangan berbaju putih itu nampak separo tubuhnya tersamar kain horden. Di antara rasa takut yang mulai menjalar, ada pula rasa keingintahuanku akan bayangan itu. Bayangan itu masih tetap di sana, bahkan rambut panjangnya nampak pula berkibar bersama kibaran gaunnya.<br /><br />Dia menatapku! Ya! wajah itu menatapku dengan senyum yang lebih pantas kusebut seringai!<br />Kupejamkan mataku, tapi entah kenapa rasanya mata ini tak mampu terpejam sama sekali. Dan anehnya, tubuhkupun terasa sangat susah aku gerakkan sedikitpun. Mataku tak mau lepas dari bayangan putih yang menyeringai itu.<br /><br />Aku berusaha mengingat-ingat salah do'a yang juga sangat sulit keluar dari mulutku. Kutoleh suamiku, aku ingin membangunkannya, namun sungguh tangan inipun tak mampu kugerakkan. Tuhan tolong aku!<br /><br /><br />"Astaghfirullah ... laillahailallah ..." akhirnya aku berhasil mengucap kalimat sakti itu. Dan sungguh aneh, lampu di kamarku kembali benderang seperti semula dan deru angin dalam rumahkupun lenyap seketika. Aku kembali bisa menggerakkan tubuhku.<br /><br />Dengan cepat kubangunkan suamiku dengan cara mengguncang-guncangkan lengannya. Suamiku menggeliat dan membalikkan tubuhnya menghadap ke arahku. Segera kuangkat lengan suamiku dan kususupkan wajahku ke dadanya.<br /><br />"Pa peluk mama, pa" bisikku lirih, hatiku masih bergemuruh.<br /><br />Nampak suamiku keheranan. Matanya setengah terbuka memandangku dan tersenyum.<br /><br />"Kenapa ma?"<br /><br />"Peluk mama, mama takut pa."<br /><br />"Iya sini papa peluk, dah mama bobo' ya, papa tahu kok mama capek. Bobo' yaa ," ujarnya sambil merengkuh tubuhku dalam dekapannya. Dan aku membalas dekapan itu, sangat erat dan tak ingin melepaskannya. Karena aku merasa sangat nyaman dan terlindungi dalam kehangatan dada bidang lelaki yang kucintai ini.<br /><br /><br />Ah malam Jum'at ini, sungguh malam yang tak ingin kuulangi lagi ...<br /><br /><br />SEKIAN<br /><br /><br />spore, 121109<br />**DM**Dewi Maharani Soetegohttp://www.blogger.com/profile/12338305616158559722noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7160567242119280423.post-21012109100866041082009-08-19T12:22:00.000-07:002009-08-19T12:24:09.080-07:00Ramadan Ini<big>Ramadan Ini<br /><br /></big>( cerpen oleh Dewi Maharani )<br /><br />Ramadan kembali datang, begitu cepatnya waktu berjalan hingga tak terasa bulan mulia penuh berkah dan rahmat ini kembali menghampiri. Alhamdulillah, ada kelegaan yang membelai hatiku menyambut Ramadan kali ini.<br /><br /><br />Ya, kelegaan akan kepastian atas sebuah pertanyaan yang selama ini membuatku terombang-ambing dan penuh keragu-raguan untuk melangkah. Pertanyaan tentang keberadaanmu selama setahun ini, pertanyaan yang membuatku hampir gila menghadapi sindiran, cibiran dan sorot mata orang-orang di sekelilingku. Pertanyaan yang juga keluar dari mulut-mulut tak berdosa ketiga anak kita yang sepertinya tak pernah puas dengan jawaban yang aku berikan.<br /><br /><br />Sejak keberangkatanmu menjelang Ramadan tahun lalu, sebenarnya hati kecil ini membisikkan sesuatu padaku bahwa kau tak akan pernah kembali lagi ke rumah ini. Entahlah, hati ini terlalu peka terhadap situasi yang terjadi dalam kehidupanku, tentang orang-orang yang aku cintai, termasuk dirimu tentunya.<br />Dan kau tahu itu dengan pasti, bahwa aku mencintaimu dengan segenap jiwa ragaku dan rela bermandi darah untuk keutuhan rumahtangga kita.<br /><br /><br />Ah sudahlah, aku tak ingin membahas apa yang telah aku lakukan selama 15 tahun mendampingimu dan bergelar Nyonya Dodi Anggriawan. Semua kulakukan dengan ikhlas tanpa minta belas kasihanmu yang jelas-jelas tak mungkin aku harapkan lagi. Aku hanya ingin kamu mengerti, betapa luka ini tak sekedar luka berdarah tapi juga bernanah, busuk yang nyaris membuatku mengakhiri hidup bila tak kulihat wajah-wajah polos memandangku dengan tatapan tak berdosa.<br /><br />Seperti 5 Ramadan sebelumnya, kaupun tak pernah berkumpul bersama kami hingga lebaran tiba. Dengan alasan yang sama dan pulang dengan keadaan yang sama, yaitu tangan hampa dan seribu alasan yang bagiku terlalu kau buat-buat. Marahkah aku? Tidak bukan ?<br /><br /><br />Karena bagiku, sejak usaha yang kau dirikan 10 tahun lalu dan berjalan begitu mulusnya, hingga membuatmu hidup mengalahkan gaya hidup raja minyak itu jatuh bangkrut, aku sangat-sangat memahami yang bergejolak di hatimu. Bahkan saat-saat kau mulai banyak berbohong, meninggalkan rumah dengan alasan mengambil barang, negosiasi dengan langganan, meeting dengan bos-bos besar yang memakan waktu berminggu-minggu tanpa ada khabar anginpun aku tetap mencoba diam.<br /><br /><br />Ya seperti 5 Ramadan sebelumnya, saat kau berpamitan kepada kami untuk keluar kota hingga satu bulan lamanya, aku masih mencoba bertahan karena kau masih pulang walau dengan membawa hasil yang tak seberapa. Dan kehidupan kita mulai menurun sedikit demi sedikit dengan mengandalkan simpanan di bank yang tak pernah bisa kita tambah. Bahkan tatapan mata dan wajah lega anak-anak saat mendapati ayah mereka berada di rumah dan tawa riang saat bercanda denganmu, selalu mampu meluruhkan sebongkah batu yang terendap dari amarah-amarah yang terkumpul perlahan.<br /><br /><br />Hingga awal Ramadan setahun yang lalu, saat kau kembali berpamitan untuk keluar kota, aku mengangguk mengiyakan dengan sangat ringan tanpa beban. Aku tahu, kau tak akan pernah kembali.<br />Karena kebenaran mulai terkuak, ketika malam sebelum keberangkatanmu aku temukan sebuah surat singkat dan padat dari kota yang pernah kita diami saat hidup kita seakan di awang-awang, dan seketika itu juga aku merasa betapa aku adalah perempuan paling bodoh yang tak pernah tahu siapa sebenarnya dirimu.<br /><br /><br />Kesabaran ini seakan dilipat gandakan oleh Yang Maha Kuasa, dalam waktu yang beruntun luka yang kau berikan terus menghantamku tanpa bisa dihentikan. Saat seminggu sesudah kepergianmu, saat beberapa debt collector satu persatu mulai mendatangi rumah kita, tanpa kutahu kapan dan untuk apa kau berhutang hingga ratusan juta, bahkan wajah-wajah merekapun sama sekali aku tak mengenalnya.<br />Dan semenjak itu pula, semua uang dan barang yang rapi aku simpan, satu persatu harus aku relakan.<br /><br />Dari sebuah mobil kebanggaan anak-anak, dua sepeda motor yang biasa kita pakai jika membawa anak-anak keliling kota, emas, berlian yang semua aku bungkus rapi tak tersisa lagi. Hingga tangis anak-anak saat menyaksikan tv LCD yang berada di ruang keluarga digotong keluar dengan tanpa perasaan oleh beberapa lelaki berbadan kekar dan menyeramkan bagaikan belati yang menyayat-nyayat hatiku menjadi lapisan-lapisan penuh darah.<br /><br /><br />Bisakah kau bayangkan, saat aku dengan airmata darahku harus meninggalkan rumah yang selama 10 tahun kita bangun dengan tetesan peluh, di mana anak-anak kita dengan riang tumbuh dan berlabuh. Dapatkah kau rasakan, perasaan kedua orang tuaku saat melihat anak perempuannya dan ketiga cucunya memohon belas kasihan untuk bisa berteduh bersama mereka .<br /><br />Rasanya tak perlu aku ceritakan padamu, apa yang terjadi setelah setahun ini, setelah aku mulai bisa merangkak perlahan, setelah tak ada lagi airmata yang harus ditumpahkan. Setelah aku mulai terbiasa menyatu dengan kesunyian, kesunyian yang mengajarkan aku bahwa kesabaran tak pernah ada batasan waktu. Kesabaran adalah teman untuk kembali berjalan, karena hidup tak boleh dihentikan demi nyawa-nyawa yang sangat membutuhkanku. Nyawa-nyawa yang telah kau sia-siakan, nyawa-nyawa yang teraliri merah kentalnya darahmu. Nyawa-nyawa yang telah memberi aku kekuatan untuk tetap bertahan hingga kini.<br /><br /><br />Dan sungguh, Ramadan ini aku jelang dengan tenang dan lapang hati. Tak ada lagi pertanyaan dari mulut mungil si bungsu yang selalu bertanya, " Papa kapan pulang, adek kangen papa .. ma "<br /><br />Juga pertanyaan si sulung yang selalu terdengar kesal, " Kenapa sih papa gak pulang-pulang, ma? Masak kerja kok gak pernah pulang!"<br /><br />Atau pertanyaan si tengah yang membuatku nyaris berhenti bernafas, " Ma, papa kok gak pulang-pulang? Mungkin papa mati ya ketabrak kereta api atau truk, kenapa mama enggak lapor polisi aja?"<br /><br /><br />Kini mereka sudah terbiasa tanpa hadirmu, tanpa aroma tubuhmu, tanpa tawa kepura-puraanmu yang membuat mereka rindu. Tak ada, sungguh tak ada. Bahkan hidup ini terasa begitu damai seolah-olah kau tak pernah ada di antara kami. Walau kami masih tetap hidup menumpang dengan bapak dan ibuku yang tak menginginkan aku meninggalkan mereka lagi. Dan aku melihat luka mereka pada senyum dan tawa saat bercanda dengan anak-anak.<br /><br /><br />Ramadan ini, kusambut bagai Ramadan baru, sebagai insan yang baru saja dimandikan oleh siraman iman yang menguatkan langkahku untuk menghadapi kehidupan. Luka ini, luka hati anak-anak dan luka orangtuaku adalah bahan bakar untuk melaju, tanpamu, tanpa nafas dan bayang-bayangmu. Karena kau tak akan pernah hadir kembali di sini, setelah aku mendapatkan khabar yang membuatku yakin bahwa di sana, di kota tempat kita pernah mengenyam indahnya bahagia ..... kau telah mengawini seorang janda kaya yang suaminya tewas bersama pesawat pribadinya yang jatuh di selat Malaka.<br /><br /><br />Marhaban Yaa Ramadan ...Dewi Maharani Soetegohttp://www.blogger.com/profile/12338305616158559722noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7160567242119280423.post-41160018147561169122009-08-08T13:00:00.000-07:002009-08-08T13:03:56.198-07:00( Bukan) Laskar Pelangi<div class="note_content text_align_ltr direction_ltr clearfix"> <div>cerpen oleh Dewi Maharani<br /><br /><br />Ini bukan ingin meniru Laskar Pelangi, tapi ketika aku mulai menulis satu persatu nama teman masa kecilku, cerita tentang novel yang telah sukses difilmkan itu terbersit di otakku. Tak mengapa, mungkin setiap kita mempunyai masa kecil yang hampir sama, yang tergores indah dan kekal untuk selalu dikenang.<br /><br />Masa kecilku yang menyenangkan, ketika ayahku memutuskan untuk pindah ke kampung halamannya setelah selama 15tahun mengabdikan diri sebagai seorang prajurit di Banjarmasin. Aku yang saat itu sangat bersedih karena merasa akan kehilangan teman-teman bermainku, terus menangis di dalam pesawat Merpati yang membawa kami melintasi putihnya mega di atas laut jawa. Aku membayangkan betapa sepinya hidupku kelak tanpa seorangpun kawan di kampung ayahku, apalagi aku tak mengerti bahasa jawa saat itu. <br /><br />Namun apa yang menjadi ketakutanku, lenyap seketika. Ketika aku mulai mengenal beberapa teman seumurku yang bertempat tinggal di kanan kiri rumahku. Hari demi hari kami bermain bersama hingga keakraban terjalin begitu saja tanpa kami sadari berjalan dengan sangat menggembirakan.<br /><br /><br />Adalah Mintarto yang biasa kami panggil Tatok, Budiono yang kami panggil Budi, Nurrofick yang kami panggil Nunung, Muhammad Cahyono Suko atau Nanang dan kakaknya yang kini sudah tiada, almarhumah Indira Andriyani yang biasa kami sapa Andri. Di antara kami berenam, hanya aku dan Andri yang berkelamin perempuan. Tapi itu bukan penghalang bagi kami untuk menghabiskan waktu sepulang sekolah bersama, ataupun hari minggu yang membuat kami seakan tak bisa dipisahkan lagi.<br /><br /><br />Kebetulan hanya Tatok dan Budi yang satu sekolah sedangkan aku, Andri dan Nanang bersekolah di sekolah yang agak jauh dari rumah kami. Alasan orang tua kami adalah sekolah Tatok dan Budi sangat riskan karena kami harus menyeberang jalan raya dan juga rel kereta api, yang mana sering terjadi kecelakaan dan selalu memakan korban. Yah, bisa dimaklumi juga kekhawatiran mereka.<br /><br />Biasanya sepulang dari sekolah, sesudah mengganti baju seragam dengan baju rumah dan tentu saja makan siang, tanpa dikomando satu persatu dari kami akan muncul di halaman rumah Tatok yang sangat sejuk karena kerindangan beberapa pohon nangka yang tak pernah berhenti berbuah.<br /><br />Kami akan membicarakan permainan apa yang akan kami lakukan hari ini jika kemarin kami belum membuat rencana. Biasanya kami akan bermain sebagaimana cerita-cerita dalam film yang kami tonton dari layar televisi. Salah satunya adalah film CHIP's dan juga serial HUNTER, keren kan ? hehehe<br /><br />Pukul 3 sore adalah waktu yang selalu kami gunakan untuk mulai beraksi, selain matahari sudah tak begitu terik, kami juga menghindari masalah dari para orang tua kami. Mereka akan sangat marah jika saatnya tidur siang kami gunakan untuk kelayapan (kata mereka, hiks), katanya .. kalah dengan anak ayam, yang kalau siang hari berlindung di bawah perut induknya untuk beristirahat, ini anak orang disuruh tidur susahnya minta ampun, hihihii .. disamakan anak ayam .<br /><br /><br />Biasanya kalau hari hujan, kami agak kesulitan untuk berkumpul. Karena bagiku sendiri, saat hujan deras ibu akan menungguiku sampai aku benar-benar terlelap. Hehe, aku tak kurang akal untuk mengelabuhi ibu, aku pura-pura terlelap dan mendengkur dengan bantal yang menutupi wajahku. Kemudian ibu akan membetulkan letak kepalaku dan meyakinkan apakah aku sudah benar-benar tertidur. Sesudah itu, beliau pasti akan segera pindah ke kamar depan untuk ngeloni adikku.<br /><br /><br />Dengan berjingkat-jingkat ala Scoby Do, aku membuka pintu dengan sangat hati-hati agar tak menimbulkan bunyi berderit. Dan sesampainya di luar pagar, aku akan melompat dan segera berlari di bawah derasnya hujan untuk bergabung dengan pasukanku yang ternyata mengambil jalan yang sama untuk melepaskan diri dari "belenggu Ibu" hahahaaa... Dan kamipun akan teriak " MERDEKA !" dan kemudian berlari sambil tertawa-tawa menyatu dengan hujan tanpa peduli jika nanti ibu-ibu kami menyadari "tahanannya" sudah melarikan diri.<br /><br /><br />Di bulan Agustus ini, ada kenangan tersendiri bagi masa kecil kami. Kami selalu bermain perang-perangan pada hari-hari menjelang Agustusan. Biasanya kami akan bermain lakonan 6 jam di Yogja, serial perang di televisi yang menjadi favorite kami. Tatok akan menjadi Letnan Soeharto, Nanang dan Nunung sebagai tentara kompeni belanda, aku dan Andri sebagai petugas palang merah merangkap mata-mata republik sedangkan Budi selalu minta peran sebagai Temon (bocah ajaib di film itu) .<br /><br /><br />Kami sangat mengahayati apapun yang sedang kami mainkan, bahkan jika ada tambahan kawan yang datang untuk ikut bermain, kami terima dengan sangat gembira. Dan jika musim panen tiba, kami akan bermain-main di pematang sawah, membuat suling dari batang padi, berguling-guling di atas pelepah padi yang sudah kosong tak peduli sinar matahari yang membuat kulit kami gosong. Dan sore harinya kami pulang dengan telinga tebal siap mendengarkan omelan ibu yang menyongsong.<br /><br /><br />Sungguh masa kecil yang tiada terlupakan, yang tak akan pernah hilang dari ingatan. Keakraban kami memudar seiring bentangan waktu dan usia yang terus berjalan. Kami mulai melangkah pada jalan kami masing-masing setelah memasuki usia remaja hingga dewasa kini. Kadang ada kesedihan yang hinggap di hatiku saat memasuki bulan Agustus. Banyak kenangan indah di bulan ini, saat kami bermain perang-perangan, mengikuti lomba 17an, pentas membacakan sajak perjuangan di panggung hiburan dan menarikan tarian rakyat dengan iringan biola dan gitar. <br /><br /><br />Kini, masing-masing dari kami sudah berkeluarga. Dan sahabatku Andri sudah mendahului kami menghadap Yang Kuasa. Dia masih sering menemuiku dalam mimpi hingga kini, untuk mengulang masa kecil kami. Sementara Tatok, Budi dan Nunungpun sudah berumah tangga. Sepertinya hanya Nanang yang masih melajang hingga sekarang. Semoga cepet dapat jodoh ya, Nang ...<br /><br /><br />Kami memang bukan Laskar Pelangi, kami hanyalah bocah-bocah bandel yang mempunyai segudang mimpi. Walau mimpi itu tak bisa kami raih, tapi kami tetap selalu tertawa bila mengingat semuanya, apalagi bila mengingat Budi yang menirukan gaya capten Hunter di saat akan mulai beraksi, " Follow me!"<br /><br />hahahahaaa.... <br /><br /></div> <div class="photo photo_left"> <div class="photo_img"><a href="http://www.facebook.com/photo.php?pid=77392&op=1&view=all&subj=114138822551&aid=-1&auser=0&oid=114138822551&id=1850896366"><img alt="" src="http://photos-a.ak.fbcdn.net/hphotos-ak-snc1/hs174.snc1/6528_1037880647862_1850896366_77392_671410_a.jpg" /></a></div></div> <div class="clear_left"><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /></div></div>Dewi Maharani Soetegohttp://www.blogger.com/profile/12338305616158559722noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7160567242119280423.post-84528191696177663942009-08-05T16:08:00.000-07:002009-08-05T16:33:28.079-07:00SITI SUNDARIAku sedang menghias kotak terakhir nasi kuning itu ketika tiba-tiba "ting .. tong .. "<br />ah siapa sih ... sedikit berlari aku mendekati pintu depan dan membukanya .<br />" Hai jeng, kenalkan .. saya Siti Sundari , jeng bisa panggil saya mbak Ndari . emmmm .. jeng baru di sini ya .. hehhee ... mampir ke gubug saya ya jeng ... kita bisa ngobrol dan lebih kenal satu sama lain yaa " Sesosok perempuan setengah baya , agak gemuk , muka bulat mengulurkan tangannya dan tanpa titik koma berbicara dengan ramah... sekejap aku terpana di buatnya . Bukan terpana karena apa , tapi aku heran dan benar-benar kaget . "oh ... eh ya bu .. eh mbak, senang berkenalan dengan mbak Ndari . Sarah " kataku terbata menyambut uluran tangannya.<br />" Mmm .. maaf saya harus menyelesaikan pekerjaan saya di belakang , insyaallah saya akan mampir ke tempat mbak Ndari "<br />Aku berusaha seramah mungkin "mengusir" dia dari rumahku . Aku memang tak suka bila sedang mengerjakan sesuatu di sela oleh sesuatu yang tak perlu .<br /><br /><br />Aku kembali menyelesaikan pekerjaanku, menata kotak-kotak kardus berisi nasi kuning yang akan ku bagi-bagikan pada tetangga-tetanggaku sebagai salam ketuk pintu atau salam perkenalan sebagai warga baru. Hari ini adalah hari pertama aku tinggal di lingkungan baru, setelah suamiku di pindah tugaskan di kota kecil ini aku mengusulkan pada suamiku untuk tidak menempati rumah dinas, karena bagiku jika tinggal di rumah dinas, aku dan anak-anak tak akan bisa bebas bersosialisasi dengan lingkungan yang lebih beragam lagi.Dan atas bantuan beberapa kolega dari suamiku, kamipun dengan mudah mendapatkan rumah sewaan yang kami tempati sekarang ini.<br /><br /><br />Satu persatu kotak kardus aku hantarkan sendiri ke rumah-rumah yang dekat dengan rumahku, dengan sedikit senyuman aku mencoba memperkenalkan diri pada setiap suri rumah yang rata - rata adalah ibu rumah tangga muda seumurku . Mereka menyambutku dengan sangat ramah. Sudah 7 rumah yang aku datangi , sambil tersenyum aku mengingat nama -nama si empunya wajah-wajah cantik tetanggaku, Rahmi, Ani, Ambar, Emi, Tati, Eti dan Marni ...mmmm tinggal satu rumah lagi, batinku sambil memandang rumah yang ada di depan mataku .<br /><br /><br />" Assalamualaikuuuum ... " aku segera mengucap salam sambil mataku celingak - celinguk ke dalam . Rumah ini terbuka pintunya .. entah disengaja .. entah tuan rumah lupa menutupnya. Karena menurutku sangat bahaya membiarkan rumah di tepi jalan dalam keadaan terbuka seperti ini .<br />" Waalaikumssalaaam ... eeeh si jeng yang baru itu ya .. aduuuh mari silahkan masuk jeng . Wah seneng saya lho jeng ... jeng siapa ya tadi .. aduh maaf saya bener-bener lupa jeng "<br />Suara orang ini betul-betul hampir membuatku pingsan, aku sedang asyik mengawasi sekitar rumahnya tiba-tiba dia sudah nyerocos mengejutkan ... waduh bukankah ini Siti Sundari yang kerumahku tadi pagi?<br />Tadi pagi dia memakai baju begitu rapi , sekarang yang dikenakan adalah daster besar dan gombrong warna hijau dan rambut bekas sasakannya di biarkan terurai ... seperti ... hiii .. aku geli sendiri.<br /><br /><br />Sebenarnya aku hanya memberi waktu paling banyak 10 menit untuk berkenalan di setiap rumah, tapi sudah hampir 15 menit wanita di depannya ini tak juga menghentikan pembicaraannya . Dengan tanpa bisa disela dia mulai menceritakan tentang dirinya yang mantan penyanyi keroncong terkenal sekabupaten, hmm ...<br />" Nanti dulu jeng, saya ambilkan album foto saya ya .. " katanya seraya bergegas masuk ke dalam kamarnya dan bergegas pula memperlihatkan album yang berisi foto-foto ketika dia "berjaya " sebagai biduan ternama . " Lihat yang ini jeng, ini waktu saya bernyanyi di pendopo kabupaten ... lihat ini ... pak bupati dan ibu ... tersenyum kan .. mereka sangat mengagumi suara saya ... ini waktu ada tamu dari gubernuran lho .." katanya sambil menunjuk sebuah foto .<br />Aku mengamati , yaa ... gambar seorang wanita muda sintal berkebaya merah nampak sedang menyanyi ... dan para tamu undangan yang sepertinya para pejabat tinggi.<br /><br />Aku membolak balik lembar demi lembar halaman album foto yang diperlihatkannya padaku . Semua foto memerlihatkan Mbak Sundari yang masih muda dalam balutan kebaya sexy ... dengan profesinya sebagai penyanyi keroncong . " Mbak Ndari cantik dan sexy ya waktu masih muda dulu .. sekarangpun masih cantik " ujarku sambil menatap wajah cerah di depanku sambil meletakkan album foto itu di atas meja .<br />Siti Sundari tersenyum malu dan berucap " Ah .. ternyata jeng Sarah bisa mengakuinya ... tapi hanya jeng Sarah saja .. yang lainnya tak ada yang mau peduli " suaranya berubah sendu dan melirih.<br /><br />" Kok jadi sedih mbak ,.... oya ... suami dan anak - anak mbak Ndari tentu sangat bangga dong dengan mbak , karena istri dan ibunya seorang penyanyi terkenal "<br /><br />Kulihat Sundari menghela nafasnya ... dalam ..<br />" Saya ini ndak punya siapa - siapa jeng , saya hanya tinggal di temani Parti pembantu saya yang sudah 20 tahun setia bersama saya . Saya di campakkan oleh semua orang ... ndak ada lagi yang mau mendengarkan saya menyanyi ... saya di keluarkan dari group band keroncong , ndak ada yang mau menerima saya ... bahkan suami dan anak saya ... mereka semua pergi meninggalkan saya ... sampai detik ini hanya jeng Sarah yang mau mendengarkan saya .. bahkan bilang saya cantik .."<br /><br /><br />Aku yang tadinya ingin segera beranjak dari rumah itu kini malah semakin tertarik untuk lebih tahu lagi tentang Siti Sundari yang mulai menangis sesenggukkan di depanku .<br /><br />" Sudah lah mbak Ndari ... jangan sedih ya ... tadi semangat sekali kok sekarang jadi nangis gini .. nanti cantiknya hilang lho .." ku usap punggunggnya seperti aku menenangkan Gita putriku jika sedang menagis .<br /><br />" Saya ndak sedih jeng ... saya hanya merasa dunia ini terlalu kejam buat saya . Saya hanya perempuan biasa jeng .. yang inginkan hidup lebih layak ... mendapat apa yang saya inginkan ... bertaburan mas berlian ... memakai baju-baju bagus .. yang suami saya tak bisa memberikannya .Suami saya hanya seorang penjahit baju di perempatan jalan .. apa yang bisa saya dapat dengan uang yang untuk beli beras seminggu saja kadang-kadang kurang . Anak saya juga begitu ... padahal selama ini sayalah yang memberinya uang untuk membeli semua barang yang dia inginkan. Tapi dia juga membeci saya .. dia ikut mengusir saya dari rumah kami yang di kota ... 10 tahun yang lalu sampai sekarang saya di sini jeng ... ini rumah peninggalan orang tua saya . Saya ndak punya siapa-siapa ..."<br /><br /><br />Isak Siti Sundari mantan penyanyi keroncong itu semakin menjadi membuatku jadi bingung menghadapinya .<br />Seorang perempuan kurus hampir seumur dengan mbak Ndari tergopoh - gopoh mendekati , dia menganggukkan kepalanya kearahku dan tersenyum " Maaf bu ya ... saya Parti " katanya ... hmmm ini to Parti itu . Kemudian dengan sabar Parti membujuk sang nyonya yang nampak semakin sesenggukkan<br /><br />" Ibu istirahat dulu ya ... mari Bu ke dalam , nanti saya ambilkan obat ya Bu ... sudah itu Ibu tidur ya .." dengan sigap Parti menuntun Siti Sundari yang terlihat sangat menurut apa yang di katakannya .<br /><br />Mereka masuk ke dalam kamar tanpa memperdulikan aku yang masih keheranan.<br />Sekejap kemudian nampak Parti menemuiku " maaf ya Bu ... Ibu Ndari agak kurang sehat .. maafkan saya " ucapnya sambil membungkukan badannya<br /><br />" Ya sudah mbak Parti ... saya juga mau pamit kok, sudah hampir satu jam lho saya di sini . Salam buat mbak Ndari ya kalau sudah bangun nanti ... semoga cepat sehat " Parti tersenyum mengiakan dan aku segera melangkahkan kaki pulang.<br /><br /><br />Ketika langkahku makin mendekati rumah, aku berpapasan dengan Rahmi tetangga baruku yang tadi sempat aku kunjungi .<br /><br />" Eh Bu Sarah ... saya lihat bu Sarah lama banget di rumahnya si penyanyi gila itu ... cerita apa aja dia, ahaaa .... sudah kena lawakannya pasti yaaa .... " Aku jadi semakin heran dengan kata - kata Rahmi ini<br />" Maksudnya Bu Rahmi ....? " aku tak mengerti akan kata-kata Rahmi ini, tapi dia semakin membuat aku penasaran .<br />" Nanti saya kasih tau ya sama bu Sarah ... sekarang saya mau pasar dulu ... mau belanja buat ulang tahun anak saya besok, atau besok bu Sarah kerumah saya aja yaa ... pasti saya ceritakan semuanya ... saya buru-buru nih ... sudah siang ... panas " Yeee ... nie orang, batinku geram . Hehehe baru sehari di sini aku sudah ketemu sama biang gosip .<br /><br /><br />Di rumah aku masih teringat tentang Siti Sundari, bagaimana dia menggebu-gebu menceritakan tentang masa "jaya" nya sebagai penyanyi ... tapi tiba-tiba menangis sampai dadanya sesak ketika menceritakan tentang suami dan anaknya . Juga tentang kata-kata Rahmi ... ah aku mau cerita sama siapa ya ... Aku memang tak bisa menyimpan apa yang kuketahui di sekelilingku, tapi aku juga tak suka menceritakan pada orang lain yang selain anggota keluargaku .<br />Kalau aku ceritakan pada anak-anakku ... jelas tak mungkin, mereka masih terlalu kecil untuk mendengar " gosip " .<br />Kalau aku cerita pada suamiku ... malas ah, paling jawabannya .<br /><br /> " Mama ini memang ..... rese !" Huh .... dia gak faham dunia perempuan hahahaaa ..<br /><br /><br />Akhirnya ... kuraih gagang telephone dan ku tekan .... no telephone rumah kakakku ..<br />" Hallo ...kak ... lagi apa .... aku ada cerita nih ... bla .. bla ...bla .... "<br /><br /><br />**************** ##### ********************<br /><br /><br />Hari Sabtu yang cerah, setelah melepas keberangkatan suamiku ke kantor dan anak-anak ke sekolah, aku segera membereskan sisa-sisa sarapan pagi mereka . Dan seperti biasa aku mulai mengerjakan pekerjaan rutinku sebagai ibu rumah tangga ... mencuci baju, mengemas rumah dan mempersiapkan segala sesuatu untuk dimasak nanti siang. Tapi sepertinya hari ini aku harus pergi ke pasar, karena persediaan sayur dan beberapa bahan masakan sudah mendekati habis . Setelah bertukar pakaian dan memeriksa sekeliling rumah aku segera mengeluarkan motor bebekku yang biasa aku pakai jika aku berpergian yang agak jauh dari rumah, maklum jarak antara rumahku dengan pasar lumayan jauh ... 2,5km .<br /><br />Baru aku keluar dari pintu pagar rumah tiba-tiba terdengar suara memanggilku, hehe Rahmi si biang gosip itu tampak tergopohgo-poh menghampiriku.<br /><br /> " Bu Sarah mau kemana, ke pasar ya .... jangan lupa nanti ke rumah saya lho ... bawa anak-anaknya, itu si Ayu anak saya hari ini ulang tahun ... saya bikin sedikit nasi kuning buat kenduri ... jangan lupa lho Bu .."<br />" Iya bu Rahmi ... asaya nanti datang ya ... mariii ... " jawabku tersenyum sambil melajukan bebek hitamku menuju jalan besar.<br /><br /><br />Jam di dinding rumahku sudah menunjukkan pk.11.30 siang, aku sudah mulai membereskan dapur. Masakan untuk makan siang sudah siap aku atur di atas meja makan dan ku tutup agar terhindar dari debu dan lalat-lalat yang suka nyasar.<br />" Ting tong ... " bell rumahku berbunyi , aku bergegas membuka pintu depan rumahku . Seorang lelaki berkopiah hitam mengucap salam dan aku persilahkan masuk .<br /><br />" Silahkan duduk pak " ujarku ramah .<br />" Begini bu , tujuan saya kemari pertama-ama ingin bersilaturahmi dengan ibu dan keluarga dan ijinkan saya memperkenalkan diri ...saya Rahmat, ketua urusan kesejahteraan di desa ini. Kedua ... hari ini saudara kita satu warga desa telah di panggil ke rahmatulloh pada jam 11 pagi tadi... saya mengharap kesediaan ibu ataupun bapak untuk memberi salam ta'ziah bagi almarhumah di kediamannya "<br /><br />"Oh iya pak Rahmat... baik insyaallah saya akan datang karena suami saya ada di kantor. Hmmm siapa yang meninggal ya pak ?"<br /><br />"Ibu Siti Sundari yang ada di sebelah jalan itu, bu Sarah sudah kenal bukan ?" bagai halilintar aku mendengar jawaban pak Rahmat dan terbata aku mengucap " Innalillahi wa'innaillaihi roji'un.... "<br /><br /><br />Entah mengapa tubuhku terasa lemas mendengar nama Siti Sundari yang tiba-tiba meninggal hari ini.<br />Berbagai pertanyaan berkecamuk di otakku ... aahh ... benar-benar wanita penuh misteri.<br />Aku segera bangkit dan mempersiapkan diri untuk ke rumah almarhumah yang akan dikebumikan tak lama lagi.<br /><br /><br />Tak banyak pelayat yang datang dikediaman mbak Ndari, hanya nampak beberapa lelaki berkopiah dan berpakaian rapi masih sibuk mempersiapkan pemberangkatan jenazah ke pemakaman. Di dalam rumah beberapa perempuan berkerudung hitam duduk di atas gelaran tikar sambil membacakan surat yasin terdengar lirih dan suasana nampak begitu mengharukan . Aku melihat mbak Parti yang duduk di sebelah jenazah yang tertutup kain kafan putih nampak tertunduk sesenggukan.<br /><br />Perlahan kudekati dan kuusap punggungnya " Sabar ya mbak Parti .... " ujarku lirih setelah memberi salam.<br /><br />" Iya bu ... saya ndak tau kenapa Ibu nekat berbuat seperti ini, kemarin malam setelah saya yakin ibu sudah tidur pulas, saya langsung pulang ke rumah. Dan pagi tadi .... saya menemukan ibu terbaring di lantai dengan banyak busa putih yang keluar dari mulutnya .... ibu nekat makan seluruh sisa obat tidur yang biasa di minumnya ... padahal saya sudah menyimpannya di tempat tersembunyi ... tapi Ibu bisa menemukannya ... saya berusaha membawanya ke rumah sakit tadi ... tapi dokter sudah ndak bisa menolongnya ..... " keterangan Parti semakin membuatku terkejut setengah mati.<br /><br /><br />Aku masih belum bisa memejamkan mataku malam ini ... bayangan wajah Siti Sundari masih menari-nari di pelupuk mataku. Kematiannya menjadi bahan pergunjingan hangat di seluruh desa ... dan mungkin di seluruh kecamatan ... dan mungkin juga di seluruh kabupaten.<br />Masih ku ingat cerita Rahmi siang tadi ketika aku berkunjung ke rumahnya sore hari untuk memberikan kado ulang tahun anaknya.<br /><br />" Siti Sundari ... dulu dia anak tunggal keluarga kaya di desa ini, ayahnya seorang mantri tani yang memiliki berhektar-hektar sawah . Namun ibunya hanyalah istri kedua dari mantri tani tersebut. Masa remaja Siti Sundari yang terbiasa hidup bermanja dan berlimpahan harta berubah seketika ketika dia harus menikah dengan seorang pemuda pengangguran yang menghamilinya sebelum resmi menikah.<br /><br />Dia diusir dari rumah oleh kedua orang tuanya . Lelaki yang kemudian menjadi suaminya bukanlah pemuda yang menghamilinya, pemuda itu menghilang entah kemana.<br />Seorang lelaki yang karena bersimpati menampungnya dan bersedia menikahinya untuk menutup aib yang menempel pada diri Siti Sundari. Setelah kelahiran anak laki-lakinya yang pertama disusul kemudaian anak kedua dari suaminya yang hanya berprofesi sebagai penjahit di perempatan jalan kabupaten, Siti Sundari mulai merasa kesulitan membagi hasil jerih payah suaminya untuk kehidupan sehari-hari. Sementara dia sendiri tak mempunyai ketrampilan dan juga pendidikan yang memadahi.<br /><br />Dengan modal wajah cantik dan tubuh moleknya , Siti Sundari nekat mendaftarkan diri sebagai penyanyi keroncong pada sebuah perkumpulan orkes keroncong di kabupaten. Dan karena kegigihannya dia berhasil menjadi penyanyi keroncong kesayangan sang pemimpin perkumpulan tersebut.<br />Nama Siti Sundari mulai terkenal dan di kenal masyarakat bukan karena suaranya tapi karena gaya panggungnya di saat menyanyi yang genit dan bentuk tubuhnya yang aduhai terbalut kain kebaya membuat mata lelaki tak berkedip memandangnya. Bahkan bapak bupati menjadikannya penyanyi keroncong langganan untuk setiap acara-acara penting ataupun menghibur tamu-tamu undangan di kabupaten.<br /><br />Kehidupan Siti Sundari mulai berubah, dia berhasil menjadikan kehidupan rumah tangganya nampak mewah dan berlimpah harta . Kasak kusuk di luar mengatakan bahwa Siti Sundari menjadi simpanan orang besar. Namun semua itu tak menyurutkan popularitas Siti Sundari.<br />Kejayaan Siti Sundari nampaknya tak berlangsung lama , puncak itu segera roboh begitu sebuah skandal memalukan terjadi dini hari di sebuah kamar hotel mewah di luar kota.<br />Sebuah surat kabar loka , memuat berita yang sangat membuat seluruh warga kota heboh dan tentu saja suami dan anak-anak Siti Sundari yang merasa bagai tersambar petir!<br /><br />" SEORANG BUPATI MENINGGAL SEKETIKA DI SEBUAH KAMAR HOTEL XX KARENA SERANGAN JANTUNG, JENAZAH DIKETEMUKAN BERSAMA SEORANG WANITA YANG DIKENAL SEBAGAI PENYANYI KERONCONG TERKENAL DI DAERAHNYA. WANITA TERSEBUT BERINITIAL SS !!"<br /><br /><br />Bahkan Rahmi masih menyimpan lembaran surat kabar yang di simpannya rapi selama 10 tahun ini , katanya sebagai kenang-kenangan dan barang bukti jika ada orang menuduhnya mengarang cerita. Ah dasar Rahmi ... ada-ada saja dia.<br /><br />Aku jadi bisa membayangkan bagaimana perasaan Siti Sundari saat itu. Aku jadi lebih mengerti kenapa suami dan anak-anaknya mengusirnya dari kehidupan mereka ... kenapa kumpulan orkes keroncong itu menolak kehadirannya ... mengapa semua orang mencibir padanya ... mengapa hanya Parti yang setia menemaninya .... dan mengapa Siti Sundari harus nekat mengakhiri hidupnya ....<br /><br /><br />Aku bangkit dari kamarku ... dan kuperiksa kamar kedua buah hatiku yang nampak tertidur pulas. Kubelai rambut mereka dan kukecup kening keduanya .<br />Kembali aku ke kamarku, kupandangi wajah tampan suamiku yang nampak kelelahan. Ku belai rambutnya dan kukecup keningnya .. seperti yang kulakukan pada kedua anak kami.<br />Aku segera mengambil air wudu mengerjakan sholat malam ... aku menghatur syukurku pada Sang Maya Penyayang, atas semua karunia yang selama ini telah dilimpahkanNya padaku.<br />Dan Siti Sundari .... adalah pelajaran yang sangat berarti untukku terus mensyukuri nikmat Illahi.<br /><br /><br />Untukmu Siti Sundari ..... apapun yang telah terjadi, aku berdo'a semoga Allah memberi tempat yang terbaik untukmu .... di sisi NYa ... Amin.<br /><br /><br /><br /><br />TAMATDewi Maharani Soetegohttp://www.blogger.com/profile/12338305616158559722noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7160567242119280423.post-79342780694573108092009-07-30T19:01:00.000-07:002009-08-05T14:20:38.005-07:00BELAJAR MENULISKertas kosong yang kuhadap satu jam di depanku sudah penuh dengan rangkaian huruf yang menjadi kata dan terangkai menjadi kalimat-kalimat yang indah .<br />Kubaca lagi ... kuulang lagi, indahkah ? .... tanyaku dalam hati. Ku mulai gundah dan meragu lagi ... dahiku berkerut mengamati , srrrreeeeeettt ! kurobek tanpa bertanya lagi ... dengan gemas kuremas dan .... plung ! kucampak pada tong sampah yang siap menampung. Ini sudah sobekan kertas yang ke empat, entah berapa kali aku mengumpat.<br /><br />Kembali kumenekuri kertas kosong bergaris sambil berfikir apa yang akan aku tulis. Pena hitam masih setia dengan kepekatan tintanya yang kugenggam hingga jemariku basah berkeringat. Satu persatu huruf mulai menghiasi permukaan kertas warna putih seiring lincahnya tanganku yang menari - nari menuntun pena yang terselip di antara jari-jemari. Sepuluh menit berselang kuputuskan berhenti, yaaaa .. sudah jadi! Aih ... aiiiih pandainya diriku mencipta sebuah puisi, hatiku berbangga diri memuji tanpa melihat kanan kiri.<br /><br />Sudah dikumpul bersama-sama yang telah terkumpul, sang guru memeriksa sambil tersenyum simpul.<br />Semua mata tak berkedip memandang raut wajah sang guru yang membaca satu persatu dengan hati berdebar tak menentu . Lihatlah, sang guru yang bemimik muka lucu ... kadang berkerut ... kadang tersenyum kecut ... membuat jantung semakin dag dig dug ..melebihi kerasnya suara orang menabuh beduk .<br /><br />Sang guru memandangku tajam membuat tubuhku gemetar serasa merejam, kepalanya mengangguk memanggilku untuk bangkit dari tempat duduk. Aku suka tulisanmu, kata guru menenangkan hatiku ... kamu berbakat, tapi ..... aku tak setuju cara kamu mengakhiri jalan cerita yang kau tulis ini .<br />Ini pelajaran mengarang, kau bukan penulis profesional ... kau harus ikuti segala syarat dan aturan jika kau ingin lulus dalam ujian, kembali kata-kata guru mengingatkanku.<br /><br />Itu kata sang guru ketika aku masih kaku dan lugu mengolah kata menjadi cerita cinta jitu. Kini aku kembali bertemu sang guru, yang tetap bermimik muka lucu bila membaca hasil tulisanku. Kau bebas menulis apa saja, kata guru meyakinkanku ... tulis walaupun tentang hatimu yang sedang menangis. Tuangkan apapun yang ingin kau tulis ... jangan pedulikan kata orang caramu mengakhiri cerita yang hendak kau tulis, tulislah ... nyamankan hatimu dengan menuangkan isinya di situ.<br /><br />Ah guru ... dulu kau berkata begini ... sekarang kau berucap begitu, mana yang harus kutiru?<br />Tapi guru ... apapun katamu aku tetap hormat dan mengagumimu. Di sini ... sampai saat ini ... dan entah sampai kapan nanti .... aku tetap akan terus belajar, belajar apa yang telah kau ajarkan padaku agar aku lebih maju.<br />Guru, lihatlah di sini aku masih juga .... belajar menulis .. menulis dan terus menulis<br /><br /><br /><br />**** Lagi belajar nulis heheheDewi Maharani Soetegohttp://www.blogger.com/profile/12338305616158559722noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7160567242119280423.post-10761792602331262932009-07-30T18:40:00.000-07:002009-07-30T18:44:14.727-07:00MAS YANTOHari yang cerah , ketika aku mulai keluar rumah untuk menyetorkan kue kue buatanku pada beberapa toko dan warung makan yang berada tak jauh dari tempat tinggalku .Setelah meninggalkan dua buah toko yang menjadi langgananku , kini aku membelokkan arah sepeda motorku menuju ke sebuah rumah makan kecil yang pemiliknya adalah bekas teman sekolahku. Rumah makan di tepi jalan yang sederhana namun tak pernah surut oleh keramaian pengunjungnya .<br /><br /><br /><br />Aku sendiripun tak pernah menyangka temanku yang pernah menyandang gelar pelajar teladan tingkat kabupaten sewaktu SD , kini menekuni profesinya dalam dunia kuliner sekaligus ibu rumah tangga .<br />Sama saja denganku yang semasa sekolah selalu mendapatkan rangking di tengah - tengah , tak ke atas tak juga ke bawah . Hehehe ... ternyata kecerdasan seseorang semasa sekolah tidak menentukan mau jadi apa dia kelak . Mungkinkah , atau kebetulan saja . Yang jelas aku sangat senang karena dia kini menjadi pelanggan tetap kue - kue buatanku.<br /><br /><br /><br />Rumah makan itu masih sepi , sepertinya baru saja dibuka karena waktupun baru menunjukkan pk.8 pagi ketika aku memasuki pintunya yang terbuka lebar . Aku melihat Nunik , temanku si pemilik rumah makan ini sedang asik berbicara dengan seorang laki - laki di salah satu meja yang tersedia . Setelah mengucap salam dan sedikit senyuman juga aku berikan pada Nunik dan laki - laki itu , seperti biasa aku langsung menata kue - kue pada wadah yang telah disediakan . Nunik menghampiriku sambil membuka laci meja yang ada di depanku dan memberikan sejumlah rupiah untuk membayar kue - kue yang telah habis terjual .<br /><br /><br />" Terimakasih Nik , aku langsung jalan ya " kataku berpamitan<br />" Sebentar Wid , kenalkan dulu nih mas Yanto ... sepupuku yang baru saja datang dari Magelang. Dulu dia kuliah di IKIP Yogja , sering main ke rumahku juga . Sekarang dia ditugaskan mengajar di salah satu SMP di sini ." kata Nunik sambil mengajakku mendekati laki - laki yang tadi berbincang - bincang dengannya.<br />Laki - laki yang berkulit putih itu tersenyum mengulurkan tangannya disertai anggukan ramah .<br />" Hai , yanto .. "<br />" Widi .." kusambut uluran tangan dan keramahannya .<br />" Tinggal di mana ?"<br />" Dekat sini saja kok mas , seberang jalan situ dekat pom bensin"<br />" Ohya?" ada sedikit nada terperanjat dari ucapannya.<br />" Kenapa mas ?"<br />" Ah ... enggak , saya jadi ingat masa lalu aja "<br />" Masa lalu yang mana nih ... ?" aku mulai usil dan mengamati wajah laki - laki di depanku yang mengingatkan aku pada seseorang , hatikupun mulai bermain teka - teki.<br /><br /><br />" Aku pernah suka pada seorang gadis yang rumahnya di seberang jalan itu juga . Dulu waktu aku masih kuliah di sini . Waktu itu gadis itu masih duduk di bangku SMA kelas dua kalau tak salah , aku mengenalnya sewaktu ada acara pameran pembangunan di kabupaten yang melibatkan para pelajar SMA dan mahasiswa . Kebetulan kami sama - sama ikut andil dalam kegiatan tersebut , saya tertarik dengan keramahan dan keceriaan gadis itu selain dari wajahnya yang tentu saja cantik ."<br />" Terus ?" aku menyela memberinya waktu untuk menghela nafas , dan Nunikpun nampaknya mulai tertarik dengan cerita sepupunya itu kembali duduk di sebelahku .<br /><br /><br />" Kami berkenalan , walaupun aku tahu bukan hanya aku seorang saja yang tertarik dengan gadis itu tapi aku merasa PD sekali karena dia memberikan alamat rumahnya bahkan mengijinkan aku untuk bertandang .Aku sering ke rumahnya , mungkin aku tergila - gila dengannya ... tak tahu juga ya , rasanya aku yakin sekali dialah calon istriku ... hehehe ".<br /><br />" Terus ... terus .. " kini Nunik yang mulai beraksi seperti tukang parkir<br /><br />" Iya ... tapi aku sangat terganggu sama kedua adiknya yang sangat usil dan nakal - nakal itu .Dua adiknya itu perempuan , tapi kelakuan dan gaya mereka mirip laki - laki alias tomboy .Akupun menyerah karena dua bocah nakal itu , konyol bukan ?"<br />Aku terdiam , tebakanku mulai sedikit jelas ... aku tersenyum kecut sedangkan Nunik semakin penasaran.<br />" Kok bisa sih mas , hanya garagara dua bocah perempuan kecil saja menyerah "<br /><br /><br />Laki - laki yang bernama mas Yanto itu menghela nafasnya .<br />" Gimana gak menyerah , mereka itu bukan bocah kecil sih ... yang satu SMA kelas satu yang satunya SMP kelas satu . Bayangkan saja , setiap kali aku datang berkunjung .. ada saja yang mereka lakukan . Kadang - kadang kalau salah satu dari mereka yang membuka pintu, aku di suruh duduk di teras dan pintu ditutup lagi tanpa ada seorangpun yang keluar untuk menemuiku , dan akupun harus pulang dengan hati mendongkol . Terus kalau aku sedang berbicara dengan kakaknya , ada saja ulah keduanya .. bermain gitar dan bernyanyi dengan keraslah di ruang yang sama , memutar tivi juga dengan volume yang mengalahkan suara layar tancep , kejar - kejaran di sekitar sofa yang aku duduki bahkan pernah dengan kurang ajarnya mereka meletakkan cobek buat bikin sambel itu di atas meja, dengan memberi jampi - jampi katanya semoga tamu yang jelek ini segera pergi dan tak pernah gentayangan di sini "<br /><br /><br />Nunik tertawa terpingkal - pingkal , sedangkan aku hanya tersenyum kecut mendengarnya .<br />" Terus .. terus ... kok kurang ajar sekali anak - anak itu ya .. tapi lucu juga " kata Nunik di sela tawanya .<br /><br /><br />" Itulah , aku juga heran gadis itu juga gak melarang ataupun memarahi adik - adiknya . Aku sempat berfikir apakah ini memang sengaja, kalau dia tak suka sama aku kan bisa bilang ... tapi dia diam aja . Tapi aku mulai sadar ketika hari - hari selanjutnya yang menemuiku adalah ibunya dan selalu ibunya dengan alasan gadis itu sedang di rumah saudaranya ataupun ada kegiatan ekstrakulikuler di sekolah.<br />Dan ketika kedatanganku yang terakhir itu adiknya yang SMP yang membukakan pintu , sambil tersenyum sinis dia menanyaiku , ..... mau ngapelin ibu ya mas , ibu lagi kondangan nanti jam 12 malam baru pulang , kalau mau nunggu silahkan aja duduk manis di teras yaa ... "<br /><br /><br />" Betapa geramnya aku sama anak kecil itu , tapi gak tahu juga ya kenapa aku gak bisa marah sedikitpun dengan kekurang ajaran mereka . Aku hanya bisa tersenyum dan pamitan pulang ... bayangkan , aku masih mau berpamitan pada seorang gadis kecil yang mengejekku . Akhirnya kuputuskan untuk menyudahi kunjunganku ke rumah itu lagi . dan berusaha melupakan gadis cantik itu , gak ada sakit hati kok ... cuma kecewa saja .. heheh "<br /><br /><br />" Kalau boleh tahu siapa nama gadis yang mas Yanto sukai itu ?" aku meyakinkan tebakanku.<br />Mas yanto nampak mengingat - ingat sesuatu , dan hatiku berdebar - debar menunggu jawabannya .<br /><br />" Hmm ... kalau gak salah ya ... namanya Hera , yaaa... nama gadis itu Hera .. tepatnya Herawati !"<br /><br />Aku terlonjak , jantungku seperti mau lepas mendadak .... apalagi ketika Nunik secara mengejutkan bertanya ..<br /><br />" Wid , bukankah kakakmu bernama Hera ?"<br /><br /><br />Aku pura - pura tak mendengarnya sambil melihat arloji di pergelangan tanganku , aku berpamitan.<br />" Aduh maaf , sudah ngelantur ya ... daganganku belum selesai kusetorkan semua nih .. aku pamit dulu<br />ayuk Nik ... mari mas , saya jalan dulu ... terimakasih ya , ceritanya menarik sekali "<br />Aku bergegas meninggalkan meja diiringi tatapan heran mas Yanto , aku tahu ada yang ingin di tanyakannya sehubungan dengan pertanyaan Nunik padaku tadi .<br /><br /><br /><br />Tak perlu ditanyakan mas , aku terlalu malu untuk menjawabnya ... kataku dalam hati sambil nyengir pergi.<br /><br /><br /><br />****** ### *****Dewi Maharani Soetegohttp://www.blogger.com/profile/12338305616158559722noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-7160567242119280423.post-69981489402766558552009-07-30T18:36:00.000-07:002009-07-30T18:40:04.397-07:00Kisah Sebuah Bando dan Telor CeplokSebenarnya kalau teringat cerita ini aku selalu dipaksa tersenyum kecut oleh hatiku sendiri . Cerita konyol yang ku alami semasa duduk di bangku SMA .<br />Cerita yang di awali ketika hari itu sekolahku meniadakan pelajaran untuk satu hari karena para guru dan stafnya mengadakan rapat mendadak.Tentu aku dan juga teman - teman satu kelas bahkan mungkin seluruh siswa di sekolahku menyambutnya dengan gegap gempita . Biasakan anak sekolah , memang selalu itu yang dinanti - nantikan .<br />Dan untuk menghabiskan sisa waktu hari itu, aku dan ke dua sahabatku Wanty dan Tari memutuskan untuk berjalan - jalan ke plaza .<br /><br /><br />Udara sangat panas menyengat kulit saat itu walaupun arlojiku baru menunjukkan pukul 10 pagi . Tapi keadaan di sepanjang koridor plaza terasa begitu ramai dengan para pengunjung . Setelah selesai menikmati semangkok bakso dan segelas es buah di warung bakso terfavorit di kotaku , kami bertiga kembali berjalan menyusuri sepanjang koridor plaza sambil sekali - kali memasuki beberapa toko buku, toko baju ataupun toko aksesoris walau tak satupun dari kami yang berniat membeli. Memang sangat mengasikkan untuk memasuki toko - toko tersebut . Sambil bercanda kami bisa mencoba barang - barang yang di pajang di etalase toko tanpa peduli dengan omelan atau teguran dari para pramuniaga.<br /><br /><br />Hingga pada akhirnya kami memasuki sebuah toko aksesoris terbesar yang menjual begitu komplit perlengkapan - perlengkapan perempuan , dari barang seperti karet gelang , ikat rambut , hiasan rambut, sepatu , tas hingga segala macam keperluan untuk kaum hawa ada di situ.<br />Aku sendiri langsung berjalan menuju ke lorong dimana terletak berbagai ragam pernak - pernik untuk mempercantik rambut , karena di situlah tempat yang paling menyenangkan bagiku .Aku mulai pelacakanku dengan memilah - milah karet - karet pengikat rambut yang cantik dan berwarna - warni. Namun tak satupun yang menarik perhatianku , selain beberapa aku sudah punya , modelnyapun terlalu kekanak - kanakkan seperti ikat rambut untuk anak - anak TK dan SD . Dan akupun mulai mengalihkan pandangan ke arah lain . Aku melangkah ke arah etalase yang memajang berbagai macam bando atau bandana .<br /><br /><br />Mataku terpaku pada sebuah bando yang sangat cantik , ukurannya tidak terlalu besar dan terbalut oleh pita beludru berwarna hitam putih teranyam begitu indah. Aku segera mengambilnya dari sela deretan bando - bando lainnya . Kuberjalan ke arah cermin besar yang memang di sediakan di sana dan memasangnya pada rambutku yang panjang sebahu. Wow ... fantastis ! Aku melihat diriku seperti seorang putri paling manis saat itu dengan bando indah menghiasi rambutku . Kulepas bando dari atas kepalaku dan mencari bandrol yang mencantumkan harganya , ternyata ada di sebalik bando itu . Hmm .. harganya lumayan mahal , Rp. 6000,00 . Untuk ukuran pelajar seperti aku tentu harga tersebut mahal , karena biasanya aku membeli bando hanya dengan harga Rp. 3000,00. Dan yang ini dua kali lipat harga biasanya . Ketika aku membuka dompetku , aku hanya menemukan uang kertas pas Rp. 6000,00. Itupun uang sisa dari uang jajan setiap hari yang aku kumpulkan untuk minggu ini .<br />Kalau aku belikan bando itu , tentu aku tidak akan punya simpanan lagi . Ah .. tapi bando hitam putih itu sangat menggodaku dan sayang kalau aku tak memilikinya .<br /><br />Di saat aku berada dalam kebingungan antara membeli dan tidak , tiba - tiba Wanty dan Tari datang menghampiriku . Aku menunjukkan bando tersebut pada keduanya .<br />" Cantik ya ?"<br />Wanty mengambilnya dari tanganku sambil berkata , " Kamu tau Wid, aku tadi sudah ke sini . Dan aku juga suka dengan bando ini , terus aku cari kamu juga Tari untuk ngasih tau dan minta pendapat kalian tentang bando ini. Eeehh .. gak taunya kamu sudah di sini "<br />" Kamu juga suka Wan ... harganya mahal sekali "<br />" Iya , memang mahal . Tapi sayang kalo gak dibeli Wid, bagus banget ... cuma satu lagi" jawab Wanti datar namun mengejutkan aku.<br />" Cuma satu ??"<br />" Iya ... aku tadi sudah tanya sama pramuniaganya "<br />" Waahh .. cantik juga ya bandonya " Tari ikut - ikutan mengamati bando itu.<br />Rupanya Taripun tertarik pada keunikan bando indah itu .Ternyata kami bertiga sama - sama saling ingin memiliki bando cantik itu , dan secara kita yang hanya pelajar dengan uang jajan pas - pasan kami bertiga sepakat untuk memiliki bando itu secara bersama - sama. Apalagi bando itu hanya ada satu - satunya di toko tersebut.Caranya adalah dengan patungan Rp. 2000,00 perorang yang tentu saja sangat meringankan aku . Dan sesuai kesepakatan bersama , bando indah itu bisa kita miliki selama 1minggu bergilir . Heheheee ... itu adalah usulan dari Tari yang memang punya otak cemerlang di antara kami bertiga.<br /><br /><br />Setelah membayarnya kamipun mengundi siapa yang berhak membawa pulang bando untuk yang pertama kalinya . Dengan cara hompimpah aku memenangkan undian itu . Betapa beruntungnya aku , sepanjang perjalanan pulang ke rumah aku sudah membayangkan bagaimana besok pagi aku pergi ke sekolah dengan bando cantik ini di rambutku . Pasti aku akan jadi pusat perhatian teman - teman sekolahku dan juga guru - guru.Hahahahaa aku memang agak narsis sejak dulu , selalu ingin menjadi pusat perhatian orang - orang di sekitarku . Bagiku menjadi pusat perhatian adalah sesuatu yang membuat hidupku terasa indah dan penuh semangat .<br /><br /><br />Sampai di rumah tepat pukul 2 siang, aku melihat ada sebuah mobil terparkir di halaman rumahku .Sepertinya ada tamu yang berkunjung ke rumah , nampak dari luar pagar ibu sedang berbincang - bincang dengan beberapa orang di ruang tamu . Setelah mengucapkan salam dan mencium tangan ibu , aku bergegas masuk ke dalam kamarku. Ketika melintas di depan pintu kamar adikku , aku mendengar suara aneh dari dalam . Ku belokkan langkah kakiku ke kamar itu dan bertapa terkejutnya aku melihat pemandangan yang begitu memukau ! Keadaan kamar adikku tak ubahnya seperti kapal pecah, dengan berbagai barang berserakan di lantai , di atas meja . Dan kulihat sosok adikku duduk di sudut ranjangnya sambil tersedu - sedu .<br />" Kenapa kamu?" tanyaku sambil memasang tanganku di pinggang . Tentu saja aku kesal di buatnya , karena pasti nanti aku juga yang akan membereskan benda - benda yang berserakan di kamar ini.<br />" Lapar " jawabnya pendek<br />" Makan dong , memangnya ibu belum masak ?"<br />" Udah "<br />" Trus ?"<br />" Gak ada telor ceploknya"<br />Ya ampun anak ini , selalu saja begini . Adikku masih duduk di bangku SMP kelas II saat itu, dan hobinya adalah makan telor goreng yang dibuat mata sapi yang kami menyebutnya telor ceplok.Setiap kali makan nasi harus ada telor ceplok , kalau tidak pasti dia tidak akan mau makan. Seperti hari inilah , tapi kenapa ibu sampai lupa ya , pikirku dalam hati. aku melangkah ke arah meja makan yang di atasnya telah tertata rapi menu makan siang hari ini. Ku buka tutup nasi dan kulihat ada sepiring ikan pindang goreng, sepiring tahu bacem dan semangkuk sayur bayam dengan jagung muda , juga ada sambal terasi lezat buatan ibu . Lihatlah begitu nikmatnya menu makan siang yang sudah ibu masak, tapi adikku tetap bilang gak ada yang enak.<br />Aku berdiri didepan pintu kamar adikku , " Kan ibu lagi ada tamu , tunggu aja sebentar tamunya pulang kan pasti di gorengin, bereskan tuh barang - barangmu... aku gak mau ngurus! Dasar cengeng !" kataku sambil terus balik kanan menuju ke kamarku , yang kemudian di jawab dengan teriakan yang sangat kuat , " Biaaarrrriiiiiiiinnn !!!!!" dan BAAAAAMMMM !!! pintu kamarnya di tutup dengan kuatnya .<br /><br /><br />Tiba - tiba ibu masuk ke dalam kamarku , " Mbok jangan ribut , malu ada tamu " kata ibu perlahan .<br />" Lho , kok ibu nyalahin aku ... dia yang banting pintu kok aku yang di salahin "jawabku tidak suka dengan teguran ibu , selalu saja ibu begitu. Selalu saja membela anak cengeng itu , pikirku kesal.<br />" Udahlah .. kamu yang besar ngalah. Tolong kamu gorengkan telor ceplok 2 buat adikmu ya , tadi ibu pikir tamunya cuma sebentar makanya ibu tinggal dulu , gak taunya tamunya masih lama nunggu bapakmu pulang dari kantor. Ya sudah sana digorengkan telornya dulu , kasihan adikmu sudah lapar, Terus kamu ambilkan nasi sekalian sama air putihnya juga pencuci tangannya , sudah sana gak enak sama tamunya kok pada ribut - ribut."<br />Ya begitulah ibuku , dia pasti membela adikku dengan alasan aku yang lebih besar harus mengalah .Dengan terpaksa aku kedapur untuk menggoreng telor, dan melayani "pangeran " cengang itu. Setelah mengganti baju seragam dengan baju rumah , kemudian aku meletakkan bando yang baru saja kubeli itu di atas meja belajarku . Dengan bibir cemberut dan muka masam aku mulai menggoreng telor dan menyiapkan makan siang untuk adikku .<br />" Tuh sudah siap gusti pangeran !" kataku ketus di depan pintu kamarnya<br />" Kenapa gak di beresin barang - barangmu, aku kan sudah gorengin telornya" tanyaku ketika melihat keadaan kamarnya belum ada perubahan.<br />" Nanti , aku makan dulu" jawabnya acuh sambil terus duduk di depan meja makan dan mulai menikmati makan siangnya.<br />" Awas ya kalau gak diberesin , aku bilangin bapak nanti" aku tau dia paling takut kalau mendapat marah dari bapak. Bapak sangat beda dengan ibu yang selalu mengistimewakan laki - laki di rumah ini, kalau bapak siapapun yang salah pasti kena marah.<br /><br /><br />Setengah kesal aku memasuki kamarku untuk istirahat dengan membaringkan badanku sebentar. Rasanya sangat penat setelah seharian tadi jalan - jalan dibawah terik matahari dan kemudian pulang sampai di rumah masih disuruh menggoreng telor ceplok sialan itu. Katika aku mulai membaringkan badanku , tiba - tiba aku teringat akan bando yang tadi kubeli. Ah aku ingin mencobanya lagi , pikirku. Rasanya belum puas juga memandang dan membelai - belai bando cantik itu.<br />Akupun beranjak dari atas ranjang dan betapa terkejutnya aku ketika menemukan apa yang terjadi di atas meja belajarku. Oh Tuhan ! Betul - betul tak bisa aku percaya melihat pemandangan yang sangat menyayat hatiku. Pemanadangan yang meremukkan tulang rusukku , pemandangan yang membuat aku merasa seluruh tubuh ini lemas tak bertulang .<br />Kuraup kepingan - kepingan bando di atas meja itu dan dengan kemarahan yang luar biasa kudekati adikku yang sedang asik dengan makan siangnya .<br />" Kenapa kamu lakukan ini??!!!" tanyaku setengah berteriak<br />"Maaf deh" jawabnya ringan membuatku semakin naik darah<br />" Maaf ?? enak aja kalau ngomong maaf ... maaf . Kamu kan tau aku sedang gorengin telor ceplok buat kamu , kenapa kamu malah mematah - matahkan bando ini ??? Ini baru beli tau ??!!<br />" Gitu aja marah ... ya beli lagi kan gampang ... lagian aku tadi gak tahu kalau mbak Wid mau gorengin telor , salah sendiri tadi ngatain kalau aku cengeng .. ya aku marah dong " masih dengan ringannya dia menjawab amarahku bahkan dengan tetap santai menikmati telor ceploknya .<br />" Kamu ini memang .......!!!" ah aku tak bisa lagi meneruskan kata - kataku , kemarahan apapun tak akan mengembalikan keutuhan bando itu.<br />Pikiranku berkecamuk , ah besok pagi apa yang harus kukatakan pada Wanty dan Tari, dan uang mereka .... ?? Kenapa jadi begini ... bandoku ... uangku ... aaaahhh telor ceplok sialan itu ..<br />Dan diantara luapan amarah yang tak terbendung lagi ... hanya ada satu cara yang bisa kulakukan ..<br /><br />" IBUUUUUUUUUUUUUUUUUUUUUUUUU .... !!!!!!!!!!!!!!!"<br /><br /><br /><br /><br /><span style="font-style: italic;">** Untuk adikku tercinta : Danu Irawan .... >> Ingat gak waktu dikau patahkan bandoku ? hehehehee ... Miss you brother :)</span>Dewi Maharani Soetegohttp://www.blogger.com/profile/12338305616158559722noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7160567242119280423.post-41393808785357364722009-07-30T09:46:00.000-07:002009-07-30T09:48:14.390-07:00ANTARA DUA ALAMKedatanganmu yang pertama kali malam itu sangat memeranjatkan.<br />Antara sadar dan tidak , aku tak sempat berpikir mengapa tiba - tiba kamu bisa menjumpaiku di sini .<br />Bukankah seharusnya kamu di alammu sana ?<br />Walau masih ada pertanyaan di hati, aku tetap menyambut jabat tanganmu yang hangat , pelukanmu yang menyiratkan rasa rindumu yang teramat sangat padaku.<br />Tak ada kata kata yang terucap dari bibirmu , yaaahhh ... bibirmu terkatup rapat namun terus menyungging senyuman .<br />Hanya tatapan matamu yang bicara , dan sangat aneh karena aku bisa membaca apa yang ingin kau katakan padaku.<br /><br /><br />Dan lebih aneh lagi karena kita berbicara dengan bahasa mata. Seakan-akan aku melihat rangkaian kalimat yang berderet pada dinding matamu .<br />Dalam bahasa matamu kau ucapkan rindumu , dan kau ingin mengajakku bertandang ke tempat tinggalmu.<br />Entah mengapa tiba tiba alam sadarku menolak ajakanmu , dan aku katakan padamu lain kali saja .<br />Kau mengangguk faham walau terpancar kekecewaan pada raut wajahmu ketika kau berlalu dari hadapanku.<br />Ada kegelisahan dalam tidurku semalam ... kutahu dari peluh yang membasahi seluruh tubuhku saat aku terjaga .<br /><br /><br />Saat aku mulai melupakan kedatanganmu yang aneh itu, kembali kau muncul di hadapanku.<br />Dan kedatanganmu kali ini membuatku lupa berapa usiaku .<br />Kau datang dengan seragam sekolah putih abu-abu lengkap dengan sepatu hitam dan kaos kaki putih di atas mata kaki juga tas selempang menggantung di pundakmu.<br />Senyumanmu sangat manis walau dengan bibirmu yang tetap terkatup rapat.<br />Kusambut uluran tanganmu dan melangkah mengikuti kemana kau mengajakku berjalan .<br />Tanpa kusadari ternyata akupun mengenakan baju dan perlengkapan yang sama denganmu.<br />Kita terus berjalan menyusuri sepanjang jalan yang dulu pernah kita lewati bersama pergi dan pulang sekolah . Tapi bukankah kita memakai baju seragam SMA , mengapa jalan yang kita lalui adalah jalan menuju sekolah SD kita , pertanyaan itu tak pernah terjawab , kutelan lagi bersama ludahku yang nyaris memenuhi rongga mulutku .<br /><br /><br />Sepanjang jalan kau bercanda ( masih tanpa suara ) , kau berusaha menggali semua kenangan masa kecil kita yang memang tak akan pernah aku lupakan .<br />Kau mengajakku berhenti di sebuah sungai kecil yang keadaannya masih sama seperti 24 tahun yang lalu, saat kita sering meluangkan waktu bermain kecipak kecipiknya air bening yang mengalir .<br />Dalam bahasa bisumu kau tergelak menceritakan bagaimana kita berkelahi melawan 3 teman lelaki satu kelas yang menjadi musuh bebuyutan kita dengan menyiramkan air kopi panas ke wajah mereka .<br />Aku ikut tergelak , bahkan gelakku sangat melewati batas .<br />Aku terus tertawa tergelak dan tak mau berhenti , walau dengan sangat susah payah aku berusaha menghentikan gelakku.<br /><br /><br />Hingga akhirnya suara ibuku menghentikan gelak yang meninggalkan sesak di dadaku.<br />Aku bersyukur karena ada ibuku yang menolong menghentikan gelak tawaku, kalau tidak mungkin saat ini aku sudah tak ada lagi di dunia ini karena gelak tawaku saat itu menguras seluruh persediaan udara dalam paruparuku.<br />Ah .. kenapa kau berbuat seperti itu padaku , kau ingin kau mati ? (karena kulihat wajahmu begitu senang ketika melihatku tersengal - sengal saat itu)<br />Tapi lagi - lagi pertanyaan itu kutelan kembali , bahkan ketika ibu bertanya kenapa aku tertawa hingga terlewat batas dalam tidur , aku tak mampu menjawabnya .<br /><br /><br /><br />Kedatanganmu yang ketiga sudah tak mengejutkan lagi.<br />Sepertinya aku sudah mulai terbiasa menerima kunjunganmu , dan tak ada pertanyaan yang mengganggu pikiranku.<br />Kali ini kau mengajakku melewati sebuah jalan yang sangat panjang dengan kiri kanannya adalah hamparan sawah yang sangat luas.<br />Tapi anehnya yang tumbuh menguning di lahan sawah itu bukan rimbunan daun padi.<br />Namun rumput - rumput berwarna kuning yang hampir mengering hingga sawah itu bagaikan hahamparan padang rumput kuning yang teramat luas.<br />Sampai akhirnya aku melihat sebuah pohon beringin yang sangat besar berdiri kokoh di tepi jalan tersebut.<br />Ada beberapa orang seusia kita yang sepertinya memang sengaja menunggu kedatangan kita.<br />Kau (tetap dengan bahasa bisumu) memperkenalkan padaku bahwa mereka adalah teman - teman barumu .<br />Aku terima hangat jabat tangan mereka satu persatu.<br /><br /><br />Betapa terkejutnya aku ketika kutatap wajah temanmu semua sama .<br />Dalam keterkejutannku justru kau dan teman - temanmu tertawa terbahak - bahak seakan kalian semua tahu apa yang ada di otakku saat itu.<br />Tawa kalian semakin meninggi dan semakin riuh sampai membuat kepalaku pusing dan badanku terhuyung - huyung .<br />Hingga aku sudah tak tahan lagi mendengar gelak tawa kalian yang semakin membahana seakan sengaja ingin memecahkan gendang telingaku.<br />Aku memekik sekuat kuatnya memohon kalian menghentikan tawa yang menjijikkaan itu, tawa yang mambuat bulu kudukku berdiri semua.<br />Namun kalian tetap tertawa dan terus tertawa tanpa memperdulikan aku yang semakin terhuyung - huyung dan akhirnya aku betul - betul terjatuh .<br />Dan kembali tubuhku bermandikan peluh di tengah malam buta itu.<br /><br /><br /><br />Sebenarnya aku sudah tidak mengharapkan kedatanganmu lagi. Tapi aku juga tidak bisa menolaknya ketika tiba - tiba kau sudah berdiri di hadapanku dengan senyuman yang membuatku selalu luluh.<br />Kali ini kau mengajakku berjalan menuju ke sebuah lapangan sepakbola yang sangat luas.<br />Aku teringat , bukankah ini lapangan sepakbola tempat kita bermain bola kasti waktu umur kita masih 10 tahun .<br />Bahkan kita sering mengikuti dan melihat para pemain sepakbola dari kesebelasan kampung kita mengadakan latihan fisik di sini , hanya kita berdualah yang berkelamin perempuan di lapangan itu.<br />Aku tersenyum geli mengingatnya .Kita memang duo suporter cilik yang sangat di sayang oleh pemain - pemain handalan kampung kita , maklum ... bapakku adalah pelatih team kesebelasan itu .. sedang abangku dalah pemain penyerang tengah handal yang menjadi idola .<br /><br /><br />Aku melihatmu menjauh dariku saat itu, dan tiba - tiba kau sudah berada di sampingku dengan sebuah sorok di tanganmu.<br />Aku memandangmu tak mengerti , dengan bahasa bisumu kau meminta aku menggali tanah di depanku!<br />" Buat apa ??!!" aku bertanya setengah memekik<br />" Gali saja .. " tanganmu menyodorka sorok itu padaku <br />Aku menerimanya , tapi aku tetap diam tak segera menggali.<br />" Cepat ! Sebelum waktu berakhir !" kau berteriak tak sabar<br />" Waktu apa .... waktu apa yang berakhir?" aku masih tak mengerti<br />" Waktuku .. juga waktumu ... cepat , mulailah menggali !" kau semakin tak sabar<br />" Tapi aku tak tau caranya ... kamu kan tau aku tak setomboy dirimu" aku masih bertahan<br /><br /><br />Tanpa banyak bicara kau rebut sorok dari tanganku<br />" Begini caranya , perhatikan aku ajari kamu ... sudah itu kamu lanjutkan menggali" kali ini suaramu agak ketus dan keras.<br />" Tapi ... menggali tanah ini buat apa ?" masih juga aku bertanya tanpa mulai menggali<br />Kau nampak semakin tak sabar dan aku melihat kemarahan pada wajahmu<br />" Kau terlalu banyak bertanya .. aku suruh kamu menggali ... galilah !"<br />"Aku tidak mau!" tiba - tiba timbul keberanianku untuk menolak permintaanmu<br />Kulemparkan sorok itu di hadapanmu .<br />" Kenapa ... kenapa kau tak mau ... bukankah kau adalah sahabatku, bukankah kita tak akan pernah terpisahkan ...bukankah sejak kecil kita selalu bersama ... kenapa kau tak mau menemaniku ??!!!!"<br />Kata - katamu begitu kuat di telingaku , kau betul betul menunjukkan kemurkaanmu .<br />" Aku tak ada teman di sana ... aku kesepian ... aku sendiri .... aku ingin kau menemaniku !"<br />Suaramu makin meninggi dan kedua tanganmu memegang kuat telapak tanganku .<br /><br /><br />Aku mundur selangkah ... kutepiskan tanganmu kuat - kuat .<br />Kini aku tau maksudmu ... dan tiba - tiba kau nampak begitu menakutkan di mataku .<br />Kau tersenyum ... bukan ... itu bukan senyuman , kau menyeringai tepatnya !<br />Aku sangat panik melihat wajahmu yang terlihat sangat menyeramkan .... Tidak !<br />Aku tidak mau menemanimu .... aku mau pulang ... aku tak mau lagi menemanimu ...!!!<br /><br /><br />Tapi kaki ini serasa terpaku diatas tanah yang kupijak.<br />Aku tak bisa bergerak sedikitpun .. dan seringaimu semakin menakutkan .. membuatku gemetar.<br />Kututup mukaku dengan kedua tanganku yang mulai dipenuhi peluh.<br />Dan aku berusaha memekik ... namun suarakupun hilang entah kemana .<br />Aku semakin panik ... mataku semakin berkunang - kunang .... hingga aku tak tahan untuk terus menahan keringat yang mulai menbasahi seluruh tubuhku .<br /><br /><br />Dan aku terjatuh pada malam di mana engkau ucapkan selamat tinggal .<br /><br /><br /><br /><i>TUHAN BERIKAN DAMAI UNTUK SAHABATKU DI SISIMU<br /><br /><br /></i>Dewi Maharani Soetegohttp://www.blogger.com/profile/12338305616158559722noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7160567242119280423.post-77308167126430022712009-07-30T09:42:00.000-07:002009-07-30T09:46:07.011-07:00PEREMPUAN ITU ...Hujan beberapa hari ini sepertinya enggan meninggalkan bumi.<br />Udara sangat dingin mengiringi derasnya air yang turun dari langit membuat orang enggan beranjak keluar dari rumahnya.<br />Perempuan itu menatap kaca jendela kamarnya yang terus memburam oleh tetesan - tetesan hujan yang mengalir dan membentuk bayangan putih yang menghalangi pandangannya.<br />Perempuan yang baru memasuki usia 67 tahun itu mendesah , mengusap dinding kaca buram mencoba memandang suasana di luar rumah yang nampak lengang di belenggu dingin angin malam yang membekukan tulang.<br /><br /><br />Entah mengapa tiba- tiba perempuan itu merasakan kekosongan yang luar biasa , hampa dan tersia - sia.<br />Ada yang membuatnya resah malam itu , sangat resah ...padahal setiap saat jika hatinya terasa begitu galau , segera ia menenangkan diri dengan mengambil air wudu' dan berpasrah pada Tuhannya .<br />Tapi kali ini keresahan itu begitu hebat , walaupun hal seperti itu sudah di lakukannya bahkan beberapa do'a dibacanya agar keresahan itu tak lagi mengganggu .<br />Perlahan perempuan itu melangkah ke ruang tengah dan menyandarkan tubuhnya pada kursi kayu yang biasa digunakan oleh suaminya untuk bersantai , menonton televisi ataupun membaca koran sambil menikmati secangkir kopi.<br />Mata yang terlihat penuh kelelahan itu menerawang memandang sekeliling ruangan dan terhenti pada tumpukan album - album foto yang selama ini tak pernah terjamah.<br />Dengan membungkukkan badan diraihnya salah satu dari tumpukan album foto itu dan membawanya kepangkuan lalu perlahan - lahan dibukanya lembaran - lembaran bergambar yang memang sengaja dibiarkan tergeletak begitu saja.<br /><br /><br /><br />Pada lembar pertama terlihat foto besar yang disebutnya foto keluarga , foto yang dibuat beberapa puluh tahun lalu ,foto keluarga paling lengkap antara perempuan itu , suaminya yang nampak begitu muda dan gagah serta kelima anaknya yang saat itu masih kecil - kecil .<br />Kenangan termanis satu - satunya yang berhasil dia simpan pada masa - masa keharmonisan mewarnai kehidupan rumah tangganya.<br />Saat dimana hanya ada kebahagiaan dan celoteh anak - anaknya yang selalu membuat suasana rumah menjadi semarak dan berwarna.<br />Saat dimana ia merasa rumah adalah surga .<br /><br /><br />Perempuan itu ... yang kini merasakan kehampaan hati kembali mendesah, jemarinya mengusap perlahan wajah - wajah yang sangat dicintainya yang tersenyum bergaya pada foto itu.<br />Matanya memandang pada bocah laki - laki yang paling besar yang sedang menggandeng lengan adiknya.<br />Ya ... itulah anak sulungnya, laki - laki pertama yang diharapkan bisa jadi kebanggaan keluarga kelak.<br />Mata perempuan itu terpejam sesaat terlintas bayangan anak sulungnya yang kini berumur 40 tahun yang seharusnya sudah mencapai kemapanan hidup.<br />Anak sulungnya yang sedari kecil tak banyak bicara , suka membantunya melakukan pekerjaan rumah tanpa diperintah dan begitu menyayangi adik - adiknya .<br />Anak sulungnya yang setelah tamat sekolah menengah atas memilih mengadu nasib ke ibu kota, karena dia tahu bahwa tak mungkin baginya untuk melanjutkan sekolah yang lebih tinggi lagi .<br />Karena kegigihan dan tekadnya yang kuat, perlahan - lahan ia bisa menaklukan ibu kota yang kata orang kejam dan tak kenal kompromi.<br />Yang kemudian meminta restu untuk menikah dengan gadis pilihannya dan tanpa disadari perkawinan itu membawa perubahan besar pada sifat anak sulungnya yang semakin lama semakin menjauh dari keluarga.<br /><br /><br /><br />Tak ada yang bisa dilakukannya selain berpasrah dan berdo'a pada Tuhan untuk kebahagiaan anak sulungnya tersebut .<br />Namun hiruk pikuk kekacauan negara ini telah membuktikan kekejaman ibu kota yang sebenarnya.<br />Anak laki -laki yang telah serasa begitu jauh itu tiba - tiba datang bersama istri dan kedua anak hasil pernikahannya , memeluk dan menangis dipundaknya , kemudian bersujud menciumi kaki wanita tua itu. Wanita tua itu mendesah lagi .... kota besar itu telah mengusir anak sulungnya yang dituduh menggelapkan uang perusahaan di mana anak sulungnya selama ini mengais rejeki.<br />Sampai saat ini sudah hampir 5 tahun anak sulungnya memilih meninggalkan kota yang telah membuat hitam putih kehidupannya dan memilih menetap didesa kecil di pesisir pulau jawa.<br />Dan perempuan itu mengetahui bahwa anak sulungnya mengalami tekanan batin yang luar biasa dan tak ada yang bisa di lakukannya selain memanjatkan do'a pada Sang Penata Laku. <br /><br /><br />" Tuhan ... beri kekuatan pada putraku agar dia tahu bahwa kehidupan ini harus terus berlaku , aku akan selalu memberinya restu ... tegarkan dirimu nak , jangan putus asa ... hanya ini yang bisa ibu berikan untuk meringankan bebanmu "<br /><br />Diusapnya kembali wajah anak sulungnya yang nampak tersenyum lugu ketika berumur 12 tahun itu .<br /><br /><br />Kini jemari yang telah berkeriput itu mengusap pada gambar wajah gadis kecil berambut keriting yang tersenyum lebar menatap sang juru gambar.<br />Satu - satunya anak perempuan yang mempunyai rambut keriting seperti dirinya .<br />Anak yang sedari kecil tak pernah bisa mendengar orang marah apalagi bersuara keras kepadanya. Kembali ingatannya melayang pada masa lalu ketika gadis kecil ini dirasakannya terlalu mengganggu dengan tangisannya merengek meminta sesuatu dan tak mau menunggu waktu membuatnya marah dan sedikit membentak .<br /><br />" Diamlah! Apa kamu tidak lihat ibu sedang sibuk ??!"<br /><br />Dan seketika terdiamlah anak itu , berlari ke kamarnya dan menutup pintu.<br />Perempuan itu berfikir anaknya tertidur , namun betapa terkejutnya ketika dia memasuki kamar itu , di dapatinya tubuh gadis kecilnya menggigil dan suhu badannya begitu tinggi.<br />Dan ini tak hanya terjadi sekali , sepertinya sudah sampai tiga kali terjadi dan kemudian baik perempuan itu maupun suaminya sepakat untuk tak lagi melontarkan kata - kata keras pada anak keduanya.<br />Kini gadis kecil yang sudah menjadi wanita berumur 38 tahun itu berada di negeri seberang mengikuti suaminya yang berasal dari negeri tersebut bersama dengan ke 5 orang anaknya .<br />Sesungging senyuman terukir di wajah perempuan tua itu .<br />Ternyata anak inipun mempunyai 5 orang anak seperti ibunya .<br />Kembali terpejam mata perempuan itu dan terucap do'a di hatinya ..<br /><br />" Tuhan beri kebahagiaan pada putriku dan semoga dia menjadi istri dan ibu yang menbawa kedamaian bagi keluarganya.... amin "<br /><br /><br /><br />Wajah perempuan itu kembali memandang foto yang selalu dijaganya agar tak lapuk dimakan oleh waktu, karena hanya itu satu - satunya foto yang berisi lengkap seluruh keluarganya.<br />Matanya menatap gambar bocah perempuan yang berambut pendek dan berponi nampak tersenyum manis menatap kamera.<br />Itulah anak perempuannya yang ketiga .<br />Anak yang paling berbeda sifatnya dari semua anak - anaknya yang pendiam dan penurut.<br />Anak ini adalah pemberontak sejati namun dialah anak paling cerdas yang dia punyai.<br />Apa yang dianggapnya salah harus dibantah tak peduli itu teman , orang tuanya bahkan guru - guru di sekolahnya.<br />Tak ada yang dikerjakannya di rumah selain membaca buku serta belajar dan dia akan marah apabila seseorang masuk kamarnya tanpa mengetuk pintu walaupun itu ayah ataupun ibunya.<br />Prestasi akademik dan ekstrakulikuler di sekolah sangat membanggakan , selain selalu menjadi bintang kelas dan mengetuai berbagai organisasi di lingkungan sekolah, iapun mendapatkan beasiswa dari pemerintah yang tentu saja sangat membantu meringankan beban ekonomi keluarga.<br />Kekecewaan karena tak bisa melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi setelah tamat sekolah menengahnya tak membuatnya putus asa. <br />Dengan nilai ijasah yang tinggi dan piagam - piagam penghargaan yang di perolehnya selama menimba ilmu dari taman kanak - kanak hingga sekolah menengah atas dijadikan modal untuk mencari pekerjaan di berbagai instansi .<br />Dan kebahagiaannya tak terkira ketika salah satu instansi swasta terkenal menerima lamarannya .<br /><br />" Kau memang pantas mendapatkan semua itu, Nak". <br /><br /><br />Kecerdasan dan keuletan ketika masa sekolanya dulu dibuktikannya kembali dalam menekuni pekerjaan yang sangat di cintainya itu.<br />Prestasi - prestasi kembali diraihnya hingga membawanya pada kedudukkan yang lebih bagus dan lebih bagus lagi .<br />Dan kebahagiaan itu terasa lengkap ketika seorang pemuda tampan dan mapan datang meminang .<br />Sujud syukur selalu dipanjatkannya pada Illahi atas kebahagiaan yang dikecap oleh putrinya.<br /><br /><br />Namun mungkin Tuhan tak ingin melihat anak ketiganya selalu hidup penuh tawa , ketika dengungan reformasi melanda negeri ini dan ia harus kehilangan kebanggaan saat berada di puncak prestasi kerjanya.<br />Ia harus rela menerima kenyataan yang sangat pahit ketika instansi besar itu harus segera menghentikan segala kegiatannya atas keputusan pemerintah pusat .<br />Perempuan itu sangat faham apa yang dirasakan oleh anak perempuannya ketika bersimpuh dan menangis pangkuannya .<br />Hati perempuan itu merasa sangat remuk menyaksikan kehancuran yang diderita anaknya yang paling keras kepala itu.<br />Namun hanya usapan lembut pada kepala anak perempuan itu dan kata - kata yang bisa memberi kekuatan yang bisa di lakukannya .<br />Sambil mengusap gambar wajah gadis kecil berusia 5 tahun dalam foto , peremuan itu berujar lirih ..<br /><br />"Hanya bahagia yang ingin kulihat pada kehidupan anak - anakku, ya Allah .. berikan semua derita itu untukku ... ibu yang tak berguna ini ....<br />" Ayahmu sakit nak , pulanglah". <br /><br /><br /><br />Perempuan itu kembali menatap foto yang tak lusuh walaupun sudah puluhan tahun di simpannya.<br />Matanya memandang bayi montok berusia 11 bulan dalam gendongannya.<br />Anak bungsunya yang sangat di sayangi oleh kakak - kakaknya.<br />Yang juga mempunyai kecerdasan yang luar biasa walau agak sedikit manja.<br />Mungkin karena dia bungsu atau karena wajahnya yang selalu nampak tak berdosa itu membuat ibu , ayahnya dan juga kakak - kakaknya begitau menyayanginya.<br />Entahlah, yang jelas anak laki - laki ini pun begitu penyayang dan disukai banyak orang .<br />Seperti anaknya yang ketiga , prestasti di sekolahpun selalu membanggakan namun di lingkungan teman - temannya , ia adalah pribadi yang sangat rendah hati.<br />Itulah keistimewaan anak bungsunya , walau dalam hal makan dia agak sedikit rewel seperti ayahnya yang tidak akan mau makan apabila lauk dan sayurnya tidak sesuai dengan seleranya.<br />Ah , anak - anak memang tidak ada yang sama .<br /><br /><br /><br />Perempuan itu tersenyum sambil mengusap foto wajah bayi lucu itu.<br />Dadanya menyesak haru saat teringat kembali ketika si bungsu baru menerima ijazah SMA yang hasilnya sangat memuaskan dengan nilai tertinggi di antara teman - teman sekolahnya.<br /><br />"Kalau kamu ingin melanjutkan sekolah ke perguruan tinggi, pergilah mendaftar Nak. Nanti ibu carikan uang untuk biaya pendaftaran dan tabungan ibu bisa untuk biaya kuliahmu."<br /><br />Namun anak bungsunya itu menggelengkan kepala dan menjawab bahwa ia tak mau membebani ibunya.<br /><br />"Biar saja aku bekerja , Bu .... Ibu tidak usah lagi memikirkan biaya sekolahku . Biarlah semua sama antara aku dan kakak - kakakku sama - sama sampai di SMA saja . Sudah cukup ibu berkorban untuk kami. Ibu harus istirahat ya , sudah saatnya ibu memikirkan diri ibu sendiri terutama kesehatan ibu ".<br /><br /><br />Berlinang airmata perempuan itu mengingat kata - kata anak bungsunya yang begitu dewasa dan menggetarkan hatinya.<br />Anak yang dulu begitu manja .. yang dulu sering menangis bila diganggu oleh kakak - kakaknya ternyata sudah menjadi pemuda yang berpikiran sangat dewasa.<br />Dan pemuda berpikiran dewasa itu dengan restu penuh dari ayah dan ibunya yang semakin merasa sepi karena semua anak - anaknya telah melangkah satu persatu meninggalkan rumah yang kian sunyi.<br />Kini si bungsu yang tampan dan gagah itu sedang menikmati anugerah Tuhan bersama istri dan ke 2 anak nya .<br />Dibelainya wajah bayi dalam foto itu lagi di iringi desahan panjang.<br /><br /><br /><br /><br />Kini mata kuyu perempuan itu beralih pada gambar wajah gadis kecil yang berada tepat di tengah - tengah kedua kakak perempuannya.<br />Ketika matanya menatap gambar wajah lugu bocah perempuan itu hatinya tiba - tiba terasa teriris ... sangat perih .<br />Dialah anak perempuannyanya yang ke empat yang sampai saat ini tak tau di mana keberadaannya.<br />Saat ingatannya kembali mengingat gadis kecilnya itu , tiba - tiba terdengar suara isakan kecil dari dalam kamar dan bergegas perempuan itu mendekati gadis kecil berumur 7 tahun yang sedang demam tinggi .<br /><br />" Eyang .... eyang jangan pergi ... adek takut ... eyang jangan pergi ... "<br /><br />Suara lirih dan parau bocah kecil itu seakan begitu ketakutan di tinggalkan oleh neneknya.<br />Dan perempuan itu memeluknya mencoba memberi ketenangan pada tubuh yang lemah dan tak berdaya itu.<br />Di usapnya peluh yang membasahi kening dan anak rambut gaidis kecil itu.<br /><br />" Eyang tak kemana - mana sayang ... sudah jangan takut ... bobo' lagi ya ... eyang di sini menemani adek ... eyang tak akan pergi ke mana - mana .. "<br /><br />Kembali diletakkannya tubuh kecil itu di atas pembaringan dan di tepuk - tepuknyadengan lembut agar segera tertidur kembali<br />Sudah dua hari cucu perempuannya ini lemah dengan suhu tubuhnya yang begitu tinggi , walau sudah di bawanya berobat namun panas badannya tak juga mau tutun.<br />Setelah yakin bocah perempuan itu tertidur pulas, perempuan itu memandang tubuh bocah laki - laki yang juga tergolek pulas dipembaringan yang terletak bersebelahan dengan pembaringan adiknya.<br />Bocah laki - laki berusia 9 tahun dan gadis kecil itu adalah anak dari anaknya yang ke empat.<br />Hatinya bergetar ketika teringat anak keempatnya berpamitan untuk pergi meninggalkan segala kepahitan hidup dan kegagalan - kegagalan yang selama ini dia rasakan. <br />Sejak perceraiannya dengan laki - laki yang menikahinya 10 tahun yang lalu , hidupnya seakan penuh dengan beban derita dan membuatnya tak tentu arah.<br />Bahkan kata - kata nasehat ayahnya justru selalu membuatnya tersinggung dan marah.<br />Hanya mengurung diri dalam kamar dan menangis yang di lakukannya setiap hari .<br />Keadaan yang sangat mengkhawatirkan itu tak berlangsung lama , ketika suatu hari anak perempuannya itu tiba - tiba telah rapi lengkap dengan sebuah tas pakaian di tangannya.<br /><br />" Ibu , aku titip anak - anakku ... jangan biarkan laki - laki itu merenggutnya dari tangan ibu".<br /><br />" Kamu mau ke mana Nak , tinggallah di sini bersama ibu dan ayahmu".<br /><br />" Tidak bu, aku tak sanggup mendengar kata - kata ayah yang selalu menyakiti perasaanku ... do'akan aku bu, hanya itu yang aku minta dan aku percayakan anak - anakku pada ibu . Aku akan memberi kabar jika aku telah menemukan apa yang aku cari ... berjanjilah padaku , Bu .... berjanjilah untuk menjaga anak - anakku ". <br /><br /><br />Perempuan itu hanya bisa mengangguk dan tersenyum pasrah melepas kepergian anaknya .<br />Dan bayi berumur 12 bulan serta bocah laki - laki yang berumur 2 tahun saat itu kini ada bersamanya . Menjadi belahan jiwanya dan menjadi penglipur rasa sepinya dengan tawa - tawa mereka.<br />Tak ada kabar dan tak ada berita apapun selama 6 tahun setelah anak keempatnya berpamitan dan meninggalkan rumah dengan airmata yang mengiringi langkahnya .<br />Dada perempuan itu menyesak disela isak yang berusaha ditahannya, di lemparkan pandangannya pada kaca jendela yang semakin buram oleh tetesan air hujan.<br /><br />"Di mana kamu Nak... tak rindukah kamu pada ibu ... tak rindukah kamu pada bocah - bocah yang lucu itu ... Pulanglah Nak... obati dendam rindu anak - anakmu ... dan lihatlah ... ayahmu sakit memikirkanmu"<br /><br /><br />Tiba - tiba dari arah kamar tidur lain terdengar suara suaminya memanggil .<br />Bergegas perempuan itu menghampiri suaminya yang sudah berminggu - minggu juga tergolek lemah di atas pembaringanya.<br />Sudah berbagai cara di lakukannya untuk kesembuhan suaminya , dari berobat ke dokter , hingga harus di rawat di rumah sakit ... bahkan segala pengobatan alternatif sudah di cobanya , namun hasilnya sama saja .<br />Kesehatan suaminya justru semakin menurun dan tak nampak tanda - tanda akan adanya pemyembuhan.<br />Hingga akhirnya suaminya tak lagi mau untuk dibawa kemanapun juga , hanya berpasrah pada kebesaran Allah saja , menunggu atas kehendakNya .<br /><br /><br />Sejak kepergian anak keempatnya , laki- laki yang menjadi suaminya selama 41 tahun ini banyak merenung .<br />Ia merasa bersalah dengan apa yang menimpa kehidupan anak keempatnya .<br />Laki - laki yang semasa masih bekerja tak pernah memperdulikan perkembangan anak - anaknya ini merasa gagal menjadi seorang ayah.<br />Laki - laki yang masa mudanya berhati keras ini merasa di hukum oleh Yang Maha Kuasa atas apa yang menimpa anak keempatnya .<br /><br />"Bu ... aku sudah tak kuat bu ... tapi aku mau semua anakku ada di sini. Tolong bu ... panggil mereka ya bu .. panggil mereka karena waktuku tak banyak tersedia ... "<br /><br />Perempuan itu melihat nafas suaminya nampak begitu sesak dan semakin tersengal - sengal .<br />Ia mulai panik melihat keadaan suaminya , berlari dia ke ruangan tengah dan meraih gagang telefon .<br /><br />" Ya Tuhan ... pukul 2 malam !"<br /><br />Tak satupun dari keempat anaknya yang mengangkat panggilannya.<br />Bergegas dia kembali kekamar ... dan menyaksikan suaminya yang makin tersengal - sengal .<br />Angka - angka terus di tekannya ... dan matanya tak lepas mengawasi kamar di mana suaminya terbaring denga nafas yang tersengal - sengal ... sementara dari kamar lainnya terdengar rengekan cucu perempuannya ..<br /><br />" Eyaaaaaaang .... eyang di manaaaa .... eyaaaang ... adek takut , eyaaaang .... "<br /><br />Perempuan itu terdiam ... menenangkan hatinya ... ingin rasanya dia membelah dirinya menjadi 3 saat itu juga .<br />Satu bagian untuk mendekati cucu perempuannya ,satu bagian lain untuk menelfon anak - anaknya dan satu bagian lagi untuk menemani suaminya .<br /><br /><br />Dan perempuan itu hanya bisa berdiri terpaku di tengah kepanikannya ...<br /><br /><br /><i>Perempuan itu .... IBUKU **<br /><br /><br /><br /></i>Dewi Maharani Soetegohttp://www.blogger.com/profile/12338305616158559722noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7160567242119280423.post-8064350988793665052009-07-30T09:41:00.000-07:002009-07-30T09:42:39.405-07:00SAHABATKU LALAT<div>kemarin aku bertemu lalat<br />teman lama yang dulu selalu dengan setia menungguiku makan<br />bukan apa-apa, dia hanya minta aku menyisakannya satu butir nasi saja<br />katanya untuk menyambung hidup istrinya yang sedang sakit dan anak-anaknya yang belum bisa terbang.<br /><br /><br />aku pernah bertanya, kenapa hanya sebutir, kau sendiri makan apa<br />lalat temanku itu akan menjawab, aku bisa makan apa saja ... taipun aku telan<br />tapi aku tak akan pernah memberi makan istri dan anak-anakku dengan tai<br />walaupun sebenarnya tai lebih banyak mengandung nutrisi, lihatlah tubuhku yang berisi ini<br />ini semua nutrisi dari tai !<br /><br /><br />aku bertanya lagi, kenapa kau sendiri yang harus makan tai<br />bukankah istri dan anak-anak juga butuh nutrisi agar mereka bisa terbang dan mencari makan seperti dirimu, dan kau tak perlu susah susah mencarikan makan buat mereka .<br /><br /><br />lalat temanku itu kembali menjawab, aku butuh nutrisi untuk tubuhku agar kuat bekerja<br />dan terbang ke sana kemari tanpa lelah dan bisa dengan gesit menghindar dari segala bahaya yang mengancamku, jadi aku bisa dengan leluasa mencari makanan untuk mereka yang aku cintai.<br /><br /><br />untuk istri dan anak-anak cukup makan sebutir nasi<br />aku tak mau mereka terbang terlalu jauh dari sarang kami<br />karena terlalu berbahaya di luar sana, dan aku tak mau kehilangan mereka<br />aku tak mau istri dan anak-anakku menjadi mangsa tangan-tangan manusia yang tak menyukai kami<br />mereka selalu berusaha melenyapkan kami dari muka bumi ini, hanya karena kami suka hinggap di tempat tempat yang tak mereka sukai, dan kami selalu dianggapnya sumber penyakit .<br />ah manusia ... selalu saja mencari kambing hitam untuk menutupi kekurangannya, betapa munafiknya .<br /><br />aku kembali bertanya, kenapa kau bilang begitu sahabatku ?<br /><br />tentu saja , coba kau pikir baik-baik, sebenarnya itu kesalahan manusia itu sendiri yang tak bisa menjaga diri mereka, makanan mereka, kesehatan mereka.<br />dan segala macam kotoran adalah sumber nutrisi bagi kami lalat-lalat jantan<br />untuk tetap bisa terbang dan bebas mencari makan, bukankah semua makhluk hidup berhak mencari makan dengan cara apapun .<br /><br /><br />padahal manusia sendirilah sumber penyakit tersebut, mereka lebih menyukai tempat-tempat kotor untuk mencari makan. bedanya mereka pandai mencuci tangan sebelum menginjak ke tempat yang bersih, itulah kecerdasan manusia yang tak dimiliki makhluk hidup lain, makanya manusia di sebut makhluk paling sempurna ! hahahaaa....<br /><br /><br />Aku terkesiap mendengar penjelasan lalat hijau besar yang sudah lama menjadi sahabatku itu .<br />tak ada yang salah dengan ucapannya, aku jadi berfikir andai saja semua manusia bisa mendengar dan memahami bahasa lalat atau hewan lainnya yang mungkin mempunyai pendapat yang sama, maka tak perlu lagi mempertanyakan budaya malu.<br /><br />akupun hanya bisa manggut-manggut menutupi rasa malu mewakili makhluk yang bernama manusia .<br /><br /><br />yaa ... kemarin aku bertemu dengan sahabat lamaku lalat<br />dia nampak semakin gemuk dan sehat, ada cerutu terselip di bibirnya<br /><br /><br />wah ... kukira kau sudah tak ada di dunia lagi, aku tertawa menyapanya<br />sepertinya kau nampak lebih awet muda dan hidupmu sejahtera, bahkan kau tak pernah lagi menungguiku makan dan meminta butiran nasi terakhirku ?<br /><br /><br />sambil mengepulkan asap cerutunya, lalat sahabatku itu menjawab,<br />hahahaaa... maafkan aku sobat ! Itulah sebabnya aku kemari, karena aku tak akan pernah melupakan kebaikanmu selama ini . Aku ingin mengucapkan terimakasihku kepadamu karena dengan sebutir nasi dari setiap nasi yang kau sisakan untukku adalah nyawa bagi istri dan anak-anakku .<br /><br /><br />anak-anakku sekarang sudah besar dan dewasa, aku sudah ikhlas melepaskan mereka untuk terbang dan mencari makan sendiri, mereka bebas menentukan makanan apa yang mereka sukai .<br />aku percaya mereka labih pandai dan gesit daripada masa mudaku dahulu .<br />sekarang jusru aku yang tak mereka ijinkan untuk terbang keluar sarang<br />karena mereka selalu pulang dengan membawa banyak sekali makanan untuk aku dan istriku .<br /><br /><br />dan setengah berbisik lalat sahabatku itu berkata , " Asal kau tahu saja, mereka tetap mengijinkan aku makan tai ... karena mereka tahu aku masih tetap membutuhkan nutrisi untuk menikmati sisa hidupku bersama istri, bukankah mereka benar-benar anak-anak yang berbakti .... heheheeh ... "<br /><br /><br />Ah lalat sahabatku, kapan kita bisa foto bersama yaaa .<br />sebagai kenang-kenangan tanda persahabatan kita, agar kelak aku bisa ceritakan pada anak cucuku tetang sahabatku lalat yang luar biasa ....<br /><br /><br /></div> <div class="photo photo_left"> <div class="photo_img"><a href="http://www.facebook.com/photo.php?pid=62459&op=1&view=all&subj=105883742551&aid=-1&auser=0&oid=105883742551&id=1850896366"><img alt="" src="http://photos-d.ak.fbcdn.net/hphotos-ak-snc1/hs195.snc1/6568_1029294673218_1850896366_62459_529075_a.jpg" /></a></div></div>Dewi Maharani Soetegohttp://www.blogger.com/profile/12338305616158559722noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7160567242119280423.post-16776316444480693482009-07-30T09:38:00.000-07:002009-07-30T09:40:44.310-07:00CATATAN HARIAN SEEKOR RAJUNGANAngin betul-betul kencang malam ini, hingga aku menggigil kedinginan dalam ruanganku yang tersembunyi.<br />Aku menggeliat bangun, rasa lapar menyerangku dengan hebat.<br />Perlahan aku keluar menyembul dari gundukan pasir yang menjadi tempat istirahatku.<br />Wow .. dinginnya udara di luar semakin membuatku tak kuasa menahan lapar.<br />Apalagi tiupan angin laut yang berlomba bersama garangnya ombak pantai ini menambah suasana terasa mencekam .<br />Aku mendongak melihat langit, rupanya bulan tinggal separo masih setia bercengkerama bersama bintang-bintang yang mengiringnya.<br /><br /><br />Aku terus berjalan, merangkak perlahan mencoba mencari sisa-sisa plankton yang tersangkut pasir .<br />Malam-malam begini terasa begitu bebas bagiku untuk mengais-ngais pasir tanpa harus merasa takut oleh kejaran anak-anak manusia yang selalu berusaha menangkapku .<br />Banyak temanku yang sudah menjadi korban mereka, ditangkap dan kemudian dijual dan dijadikan barang mainan bagi manusia manusia yang tak pernah mengerti akan arti sebuah kebebasan .<br />Untung aku masih terlalu gesit berlari setiap kali aku merasa ada kaki-kaki yang mengikutiku dari belakang.<br />Aku harus benar-benar mempertajam indra pendengaranku untuk selalu lolos dari maut.<br />Setiap kali kudengar derap kaki yang mengendap di belakangku .... siiiiiittt ! secepat kilat aku melesat kedalam pasir mencari aman .<br />Karena hanya itu yang bisa aku lakukan.<br />Duniaku adalah dunia penuh ancaman dan penuh perjuangan ketika hendak mencari sesuatu untuk makan.<br /><br /><br />Aku masih saja mengais butiran butiran pasir yang sesekali terbawa alunan ombak.<br />Tiba-tiba aku mendengar suara isak tangis seseorang .<br />Aku mencari asal suara yang menyayat hati itu . Nampak olehku seorang gadis yang duduk di atas pasir dengan melipat kedua kaki dengan dagu yang menempel diatas kedua lututnya .<br />Rambutnya yang panjang terurai berkibar-kibar diterpa angin laut membuatnya nampak begitu cantik .<br />Walaupun malam disinari oleh cahaya bulan yang hanya sepenggal, namun aku bisa dengan jelas melihat aura kecantikan gadis itu.<br /><br /><br />Aku berusaha mendekatinya, entah mengapa aku tak punya rasa takut sedikitpun mendekati manusia cantik ini . Ternyata dia memang sangat cantik, bagai peri malam dengan gaun puitihnya menatap nanar pada ombak yang bergulung gulung menghentakkan percikan air laut pada kedua kakinya.<br />Terus kupandangi dia, rupanya gadis itupun menyadari kedatanganku.<br />Diikutinya langkahku dengan ekor matanya yang berwarna merah namun indah.<br />Aku berhenti tepat di ujung ibu jari kakinya yang sedikit kotor oleh butiran butiran pasir.<br />Dan kubiarkan tangan lentik itu menyentuhku dan membawa tubuhku ke udara serta kemudian mendaratkanku di atas telapak tangannya yang putih dan halus .<br /><br /><br />Dia menatapku dalam-dalam, aku membalasnya tanpa rasa takut sedikitpun.<br />Kukedip-kedipkan mataku yang kecil ini menandakan bahwa aku memberi respon akan tatapan mata indahnya.<br />Aku melihat senyuman manis tersungging dari bibirnya .Dan lagi lagi aku kedipkan mataku membalasnya .<br />" Hai makhluk kecil ... mengapa kau tak takut padaku ?" suaranya begitu merdu berbisik padaku<br />Dan aku hanya bisa berkedip-kedip lagi.<br />" Kau begitu kecil ... tapi kau berani hidup di tempat seperti ini .. kau hebat !<br />Kau begitu bebas ... sebebas lautan ini ... tak ada batas .. tak ada aturan yang mengekangmu ... bukankah begitu ?"<br />Aku biarkan gadis itu mulai bicara ( ah .. aku bicarapun dia tak akan mendengar )<br />Sepertinya dia tau kalau aku menyimak kata katanya, jari telunjuknya membelai tubuhku yang keras tapi aku merasakan lembutnya belaian itu .<br /><br /><br />"Sekarang kau menjadi temanku ya ... mau kan kau menjadi sahabatku ?<br />Sepertinya kau lebih pantas menjadi sahabatku dari pada aku bersahabat dengan manusia manusia munafik itu ! " ada kesinisan dalam lembut suaranya.<br />"Eiits ... tapi kamu tak perlu kawatir, aku tak akan pernah membawamu pulang ke rumah.<br />Karena aku sendiri tak akan pernah menginjakkan kakiku ke neraka itu lagi!"<br />Aku mendengar gemeletak giginya .<br />" Aku akan bersama mu di sini ... bermain main dengan pasir dan ombak yang bergulung-gulung itu .<br />Aku tak akan pernah kembali ... selamanya ... yaaa ... selamanyaaaa ... hahahahaaaa!"<br />tiba-tiba dia tertawa tergelak, namun aku melihat ada airmata yang mengalir dari mata indah itu.<br /><br /><br />" Aku tak mau pulang ... " suaranya kembali mengecil dan lirih .<br />" Aku tak mau lagi tinggal di neraka itu ... kau tau sahabat kecilku, rumah itu adalah neraka yang akan segera membinasakanku jika aku tak segera keluar dan berlari ke mari "<br />" Laki-laki itu ... laki-laki biadab itu akan segera membunuhku secara perlahan ... yaaa.... perlahan .<br />Setengah berbisik suaranya seakan akan dia takut akan ada orang lain yang mendengarkan kata-katanya . Aku semakin ingin tau apa yang terjadi dengan gadis cantik ini .<br />" Ini semua salah mereka ! Mereka memaksaku menikah dengan laki laki mesum itu !<br />Apa sebenarnya yang ada di otak kedua orang tuaku ketika mereka menerima pinangan bajingan itu ?!!<br />Mereka tidak menyayangiku ... mereka hanya menyayangi harta mereka, airmata mereka semua palsu!!<br />Kamu tau .... semua palsu ... munafik !!! "<br />Kembali kemarahan menguasainya, sosok langsing itu berdiri dan merentangkan kedua tangannya dan aku masih berada di atas telapak halus itu.<br />" Sekarang aku bebaaaaassss .... aku bebas di sini ... !!!" teriakan itu membahana di sapanjang tepian pantai .<br /><br /><br /><br />Sesaat kemudian dia kembali membawaku duduk di atas pasir yang basah. Jari-jari lentiknya menghapus tetesan tetesan bening yang terus mengalir di pipi mulus itu.<br />" Dan kau tau sahabatku ... sementara kekasih yang aku cintaipun ternyata hanyalah seorang laki-laki pengecut yang tak bisa berbuat apa-apa untuk memperjuangkan cinta kami!"<br />Dia biarkan aku di jerat oleh perkawinan busuk itu, dia hanya memandangku tak berdaya ketika mobil pengantin membawaku pergi melintas di depan matanya ... kekasih macam apa dia itu??!!"<br /><br /><br /><br />Semua kata kata cintanya ternyata hanya hisapan jempol yang lenyap saat aku dengan begitu menghiba mengharap pertolongannya..<br />Ternyata ... hanya gelengan kepala yang aku dapatkan . <br />Dia tak mencintaiku, semuanya hanya sebatas kata-kata ... " suaranya lirih, sangat lirih dan nyaris terdengar seakan dia menggumam.<br /><br /><br />" Hari hariku penuh airmata, aku adalah istri keempat bandot tua itu. Dia mulai menyiksaku ketika aku tak mau melayaninya ... aku tak sanggup ... sungguh aku tak sanggup ... " isak itu kembali terdengar menyesak ...<br />Aku hanya bertahan satu bulan .. aku tak kuasa menerima cambukan ikat pinggangnya setiap malam ...kau lihat .. kau lihatlah bilur bilur di sekujur tubuhku, aku hampir mati karenanya "<br />Ya kulihat bilur-bilur itu tak hanya di tangan dan tubuhnya .. tapi juga matanya, penuh luka.<br />" Hari ini aku beruntung bisa keluar dari sangkar harimau itu, aku berlari dan terus berlari tanpa peduli kemana langkah kakiku membawa pergi .<br />Aku hanya ingin menjauh dari neraka itu, menjauh dari semua kemunafikaan dan kebiadaban itu.<br />tadi aku mendengar gemuruh ombak memanggil manggil namaku ... menuntun langkah kakiku ke mari.<br />Dan aku terhenti di sini ... dan bertemu dirimu ... sahabatku yang manis dan lucu "<br />Ah ... jari lentik itu kembali membelai punggung ku yang keras bagai batu.<br /><br /><br />Langit masih gelap, bulan yang separo itu mulai agak condong ke barat, sekejap lagi rupanya fajar akan tiba .<br />Ada tetes-tetes air yang membasahi tubuhku, rupanya hujan mulai turun lagi .<br />Semakin lama air hujan semakin deras menerpa tubuhku dan juga gadis itu .<br />Aku harus segera mencari perlindungan, aku harus turun dari tangan halus ini dengan perlahan.<br />Aku tak mau membuatnya terbangun, dia nampak begitu kelelahan setelah meluahkan semua beban yang menyesakkan dadanya .<br />Kupandangi tubuh indah yang terbaring lelap di atas pasir pantai dengan kekagumanku .<br />Betapa sempurna Tuhan menciptakan keindahan tubuh itu, tapi mengapa jalan hidupnya tak seindah lekuk tubuhnya.<br />Hujan semakin deras, dan aku cepat cepat menerobos gundukan pasir untuk berlindung dengan membawa rasa cemas akan gadis yang terbaring kehujanan itu.<br />Tapi nampaknya deras hujan tak membuatnya bergeming .<br /><br /><br />Aku tersentak dari tidurku, ketika kudengar suara-suara manusia di luar sana .<br />Aku sembulkan kepalaku mencoba mencari tahu apa yang berlaku .<br />Banyak orang di luar sana, perlahan aku mendekati kerumunan itu .<br />Aku melihat beberapa laki-laki mengangkat tubuh itu ke atas tandu, ya ... tubuh gadis yang semalam menjadi sahabat baruku sekarang terbaring kaku di atas tandu itu.<br />Sepertinya keluarga sahabatku itu telah menemukan keberadaannya di sini, syukurlah .. walaupun aku tak tahu apa yang terjadi dengan nya .<br />Akankah aku bertemu dengannya lagi ... akankah dia berkunjung ke pantai ini lagi ...<br /><br /><br />Ah ... gadis cantik ... kenangan itu begitu menggores jelas dan akan terus aku ingat walau hanya semalam. Semoga kau menemukan kebebasan dan kedamaian yang sesungguhnya ...<br /><br /><br /><br /><br /><small>CATATAN : RAJUNGAN = kepiting kecil di pantai<br /><br /></small>Dewi Maharani Soetegohttp://www.blogger.com/profile/12338305616158559722noreply@blogger.com0