Sunday, November 15, 2009

BAYANGAN ITU

BAYANGAN ITU
[cerpen oleh Dewi Maharani]



"Aku perempuan normal, Tia. Bagaimanapun juga aku tetap membutuhkan lelaki dalam hidupku."


Kalimat singkat dan datar itu keluar dari bibir tipis kak Hani. Perempuan cantik yang telah mengangkatku menjadi adiknya sejak 5 tahun lalu. Sambil mematikan bara dari sampoerna merah yang tinggal setengah centi pada asbak di atas meja kayu yang berada persis di depanku.


Sambil kembali memoleskan kuasnya pada lukisan yang aku sendiri tak mengerti apa sebenarnya gambar yang akan dilukisanya itu, perempuan yang sangat mencintai seni itu melanjutkan kata-katanya,


"Life must go on, buat apa kita meratapi sebuah kegagalan. Jangan pernah menyerah, karena yang meninggalkan kita berarti memang bukan hak kita. Jika masih ada cinta yang bisa kita rasakan, bersyukurlah. Karena itu adalah suatu anugerah tersendiri dari Gusti Allah."


"Kakak nggak capek disakiti hatinya terus sama lelaki-lelaki tak tahu di untung itu?" tanyaku kesal.


"Lelaki memang hanya tahunya menyakiti perempuan, baik secara fisik maupun batin. Begitukah Gusti Allah menciptakan makhluk yang berjenis kelamin lelaki? Cinta? Hahh! itulah senjata mereka untuk menjerat perempuan dan memuaskan apa yang diinginkannya. Setelah itu, tendang!" tak sadar nada suaraku mulai meninggi.


Benar-benar aku tak mengerti jalan pikirannya. Dengan kesal kuraih sebatang sampoerna yang masih tersisa beberapa di dalam kotak pembungkusnya. Kunyalakan api, kuhisap dalam-dalam sebagaimana cara kak Hani bila sedang menikmati asap nikotin kesukaannya ini. Namun aku tak selihai dia, dadaku terasa sesak dan aku terbatuk hebat hingga hampir muntah.


"Kalau nggak tahu bagaimana cara menikmati asap, nggak usah coba-coba. Minum air putih sana, kamu pikir setiap orang bisa dan tahu bagaimana merokok?" ujarnya sambil mengambill alih batang rokok yang ada di sela jemariku dan kemudian dihisapnya dengan penuh kenikmatan, itu yang aku pikirkan bila melihat bagaimana perempuan semampai ini memperlakukan sebatang rokok berujung bara itu.


Aku menurut. Ya, aku memang selalu menuruti apa yang dikatakannya. Sejak kami berkenalan di sebuah rumah makan lesehan beberapa tahun lalu, aku sudah mengaguminya. Saat itu aku yang baru berusia hampir 15 tahun, dengan penampilanku yang dekil dan awut-awutan menyanyikan sebuah lagu balada dengan gitar butut pemberian seorang teman di depannya.


Aku memang hanya seorang anak jalanan yang bertahan hidup dengan mengamen dari rumah makan satu ke rumah makan lainnya, di kawasan yang sangat strategis di sebuah jalan di Yogyakarta.
Semenjak aku melarikan diri dari rumah, di mana aku selalu melihat ibuku disiksa oleh ayah tiriku yang sangat ringan tangan dan bengis, bahkan aku sendiripun selalu kena hardik keras jika membantah kata-katanya, kadang jika emosinya sedang tinggi tak urung sebuah tamparan keras akan melayang di mukaku hingga aku terpelanting.


Sebenarnya aku masih bisa bertahan dengan keadaan itu, walau kebengisan ayah tiriku yang menikahi ibu setelah 2 tahun ayahku meninggal karena penyakit gagal ginjal yang tak bisa terobati, aku masih bisa merasakan kelembutan dan kasih sayang ibu. Namun setelah lelaki jahanam yang juga paman tiriku, adik kandung ayah tiriku memporak porandakan masa depanku di suatu malam, hidupku selalu dihantui ketakutan yang luar biasa.


Peristiwa yang akhirnya kini menjadikanku trauma dan membenci para lelaki terus membayangi langkahku. Aku saat itu yang baru berusia 13 tahun, menjadi korban pelampiasan nafsu bejat seorang lelaki yang seharusnya sangat aku hormati. Dan yang menjadikanku semakin ketakutan, karena lelaki itu mengancam akan membunuhku jika aku menceritakannya pada ibu.


Aku tak tahu harus bagaimana, selain aku takut dengan ancamannya, lelaki pengangguran itu tak hanya sekali dua kali melakukan pemerkosaan terhadapku. Aku hidup tak bisa di bawah ketakutan dan ancaman yang terus menghantuiku, dan hanya dengan jalan meninggalkan rumah sejauh-jauhnya, aku merasa akan aman dan terbebas dari nafsu binatangnya.


"Melamun lagi kan ?" suara kak Hani membuyarkan bayangan hitam yang sedang kembali menghampiriku.


Aku mendongak memandang perempuan berhati samudra ini sambil tersenyum.


"Apa senyum-senyum? Ngelamunin apa, ngelamunin si Rudi apa si Najib?" tanyanya sambil mengikat rambut legamnya yang indah sebahu itu.


"Puih! Sorry la yauw! Nggak ada kamus lelaki dalam hidupku. Sekali nggak tetep nggak, titik!" jawabku ketus. Kuraih gitar pemberian kak Hani kado ulang tahun saat usiaku genap 15 tahun, dan dengan gaya khasku yang berhasil memikat perhatian kak Hani dan teman-temannya, kumulai memetik dawai-dawai gitar itu dan mengalunkan sebuah lagu balada dari penyanyi favoriteku Franky & Jane.


Kulihat kak Hani hanya menghela nafas panjang, kemudian dengan santai ia duduk bersila di depanku. Meraih sebatang rokok dan menyulutnya. Aku tetap menikmati petikan gitar dan lagu yang kunyanyikan. Sambil menandaskan sisa kopi yang masih tersisa di dalam cangkir, mata indah kak Hani menatapku lekat-lekat. Aku merasa jengah dibuatnya, dan seketika aku hentikan petikan gitarku.


"Apa sih kak ngliatin gitu, ada yang aneh atau salahkah diriku ini?" tanyaku ala telenovela.


Tangannya meraih kedua telapak tanganku, digenggamnya penuh kehangatan. Dan masih dengan tatapan teduhnya, perempuan tegar ini berujar,


"Kamu masih sangat muda untuk menentukan sebuah sikap, Tia. Masih banyak waktu untukmu belajar banyak tentang orang-orang di sekitarmu. Kamu anak yang cerdas dan sangat berbakat, walau pendidikanmu hanya sekolah dasar, tapi kamu punya sebuah kemauan besar untuk merubah hidupmu. Itu yang aku suka darimu."


Aku tersenyum walau belum mengerti benar arah bicaranya. Kemudian sambil menyandarkan punggungnya di tembok bercat biru muda, kak Hani melanjutkan bicaranya.


"Aku tahu kamu masih dihantui masa lalumu, tapi aku juga sangat yakin bahwa semua itu akan berlalu, seiring berjalannya waktu. Dengan terus aktif ikut kegiatan sanggarku dan terus aktif dengan kegiatan bandmu, aku yakin suatu saat kau akan menjadi perempuan yang sesungguhnya."


"Kau akan matang dengan didikan alam, jangan jadikan masa lalumu sebuah trauma berkepanjangan. Jadikan semua itu pembelajaran untuk langkahmu ke depan. Berjanjilah padaku, kau bisa merubahnya, ya?"


Aku mengangguk perlahan, kurasakan ada yang hangat mengalir di kedua pipiku. Perempuan yang kuanggap dewi dalam kehidupanku itu aku peluk. Dengan kelembutannya kurasakan belaian jemarinya pada rambutku. Hanya dia yang kupunya saat ini, aku menatap matanya dan memberinya anggukan penuh kepastian.


****************************


Gerimis masih saja tak mau berhenti dari petang tadi hingga menjelang tengah malam ini. Matakupun masih belum juga menunjukkan tanda-tanda minta diistarahatkan. Aku berdiri terpaku di depan cermin di sebelah jendela kamarku. Kupandang sosok perempuan muda seusiaaku yang berada di dalam cermin itu.


Aku tersenyum, nampak diapun membalasku tersenyum. Sungguh manis senyuman itu. Rambut panjang tipis sebahunya sama persis dengan yang aku punya. Saat tanganku mencoba menyentuhnya, diapun melakukan hal yang sama. Telapak tangan kami bersentuhan namun kaca cermin itu membatasi kami untuk bisa saling berpegangan.


Tiba-tiba, aku melihat sosok yang sangat kukenali berdiri di belakang gadis itu. Sosok lelaki berkumis tebal itu tersenyum sinis dengan wajah bengisnya. Bukankah dia ayah tiriku? Tak hanya itu, akupun melihat sosok lain yang juga muncul di belakang lelaki bengis itu. Lelaki kurus berambut keriting itu .... bukankah dia si jahanam berhati binatang yang telah menghancurkan masa kanak-kanakku?


Aku mulai panik, dan kulihat gadis di dalam cermin itu juga terlihat cemas namun tak juga beranjak daru tempatnya berdiri. Belum sempat aku memekik menyuruhnya segara berlari, tiba-tiba di belakang kedua lelaki berjiwa iblis itu muncul sosok perempuan dengan rambut panjang terurai dan baju daster compang-camping. Aku bisa melihat tubuh kurusnya dan wajah yang sangat pias serta sayatan-sayatan luka di kedua lengannya.


Ya Tuhan, bukankah itu ibu?! Yaa! Perempuan itu ibuku, tubuhnya menyandar di tembok dan wajahnya terlihat menahan rasa sakit yang luar biasa. Aku ingin berteriak memanggilnya, tapi sungguh bibirku tiba-tiba terkunci rapat. Aku ingin memberi tahu gadis di dalam cermin itu, namun diapun sepertinya hanya bisa menatapku dengan penuh kecemasan tanpa mau menoleh ke belakang.


Aku semakin panik melihat wajah-wajah beringas yang tersenyum memuakkan, dan ibu yang aku yakin sangat memerlukan pertolonganku. Kakiku bahkan seperti terpaku di lantai tempatku berpijak.
Dan wajah-wajah itu semakin mendekat dan mendekat, mereka masih saja tersenyum bahkan lelaki berkumis tebal itu mulai tertawa dan diikuti tawa adik lelakinya yang semakin membahana.


Aku ingin segera lari dari depan cermin ini, namun gadis di dalam cermin itupun masih nampak ketakutan dan tak bisa ke mana-mana. Wajah gadis itu, wajah ibu dan wajah-wajah bengis di depanku semakin mendekatiku. Kutarik rambutku, kututupi kedua telingaku, aku bergidik sangat takut. Kututupi wajahku dengan telapak tangan, kemudian dengan sekuat tenaga aku memekik keras, sangat keras hingga duniaku tiba-tiba terasa gelap.


Dan aku tak tahu lagi di belahan dunia sebelah mana aku kini berada ...


SEKIAN


spore, 121109
**DM **

No comments:

Post a Comment