Sunday, November 15, 2009

PERMINTAAN ADINDA

Permintaan Adinda
( cerpen oleh Dewi Maharani )


Entah sudah yang keberapa kali aku menulis tentang bungsuku ini. Rasanya tak pernah bosan aku membayangkan wajah lugunya, mengingat apa yang diucapkannya, nada bicaranya, yang semua itu selalu saja membuatku tersenyum sepanjang hari. Dialah Rakyan Trisyabhuana Adinda Maharani, putri kesayanganku yang akrab kusapa dengan panggilan sayang " Dinda ".

Seperti hari kemarin saat aku berhasil menelponnya, karena saat hari raya pertama sepanjang pagi hingga siang hari aku tak juga bisa membuat panggilan ke Indonesia. Jaringannya terlalu padat seperti padatnya arus mudik di mana-mana. Malam hari aku berhasil menelpon rumah, namun Dindaku sudah tertidur pulas. Dan aku berjanji untuk menelponnya keesokan hari.

Sore, sekitar pk. 4 wib aku kembali mencoba menekan nomor telepon rumah.

" Assalamualaikum ... " sebuah suara menjawab dering teleponku. Aku tahu itu suara jagoan tengahku.

" Wa'allaikumsalam sayang .. ini Adi kan ?"

" Mama yaaa .. iya ini Adi. Mama mau ngomong sama Dinda ya ?"

" Iya, Nak . Mana dia ?"

" Lagi nyuci, Ma "

" Haaaahh !! Lagi nyuciii ??! Dinda nyucii ??!!" tak sadar aku terpekik mendengar jawabannya.

" Iya, emangnya kenapa Ma ?" ada keheranan dari nada suaranya.

" Mana sini, mama mau ngomong. Suruh tinggal cuciannya," kataku tak sabar.

Pikiranku menjadi kacau, yang ada dalam pikiranku adalah Dinda yang masih kecil itu mencuci baju. Oooh .. Gusti !

" Assalamualaikum, mama ya ?" suara halus itu sejuk menyapaku.

" Iya Nak. Dinda lagi ngapain sih ?"

" Lagi nyuci, Ma " jawanya kalem.

" Nyuci apa sayang ?"

" Nyuci piring .. " Ooooh lega rasanya, ternyata ...

" Oh, kirain mama nyuci baju."

" Ya kadang-kadang nyuci baju juga kok, Ma."

" Apa ?! Dinda nyuci baju ?! Bajunya siapa, bajunya Dinda ?!" kembali aku terlonjak.

" Yaaa... baju semuanya. Akung, Uti, sama mas Adi juga."

" Haahhh ??!!!" ini sih bukan lagi terlonjak, tapi double lonjak!

Aku mecoba menata hatiku yang ingin meledak. Kuusap-usap dadaku yang terasa menyesak.

" Kenapa harus Dinda yang nyuci baju, apa Dinda bisa, apa bersih ... trus kenapa bukan mbah Uti yang nyuci ?" bertubi-tubi pertanyaan keluar dari mulutku. Namun malaikat kecil itu sangat tenang menjawabnya.

" Mbah Uti kan sudah tua, Ma. Kasian kalo nyuci banyak. Tangannya mbah Uti suka gemetaran kalo kecapekan". Mataku mulai merebak, dadaku semakin sesak.

" Lha dulu kan ada yang suka bantu nyuci sih Nak " ucapku sambil menenangkan diri.

" Sekarang kan lebaran Ma, ya semua orang kan repot. Lha kalo bajunya gak dicuci sampai seminggu nanti gimana coba ?" Duh anakku ...

" Dinda umur berapa sih sekarang, Dinda sekolahnya kelas berapa?" pertanyaan bodoh itu keluar dari mulut seorang ibu pada anaknya.

" Dinda kan sudah 9 tahun Ma, sudah kelas 5 sekarang. Kan sudah pinter bantu mbah Uti." Mama tahu nak, jawabku dalam hati.

" Iya, tapi kalau nyuci baju, mama gak setuju sayang. Dinda masih terlalu kecil, Nak " aku betul-betul sudah tak kuasa menahan isak ini.

" Ya pelan-pelan gak papa kok ma. Sedikit-sedikit aja kok. Mas Adi kan tugasnya nyapu sama ngepel, sama nyuci kamar mandi, lha Dinda kan nyuci piring sama nyuci baju, yang masak tetep mbah Uti kok ."

" Iya, iya nak .. " aku tak kuasa meneruskan kata-kataku lagi.

Sejenak aku terdiam, membayangkan putriku yang saat itu kutinggalkan belum genap berusia 4 tahun, dan saat keberangkatanku yang kedua, usianya baru 6 tahun. Sekarang diusia yang ke 9 tahun, aku belum bisa membayangkan sebesar dan setinggi apa dia. Malah kini dia sudah bisa mencuci baju, sebuah pekerjaan yang bagiku sangat melelahkan. Karena aku sendiri baru belajar mencuci bajuku ketika berusia 14 tahun. Ya Tuhan ...

" Mama kok diam ?"

" Eh iya sayang, gak kok. Dinda sudah ma'em ?" aku sudah tak tahu lagi harus bicara apa. Perasaanku bercampur aduk saat ini. Kucoba kembali menata hatiku perlahan sambil kupejamkan mata sejenak,dan menarik nafas panjang setelah kemudian kuhembuskan perlahan.

" Ma, kenapa mama harus pulang Desember? Kalau Oktober aja gimana,Ma?" suara lembut itu kembali memberi sebuah pertanyaan.

" Mama baru dapat cutinya Desember sayang "

" Ya minta Oktober aja dong, Ma .."

" Gak bisa, sudah aturannya begitu "

" Ya protes dong, Ma !"

" Hahaha ... kamu ini ada-ada saja Dinda, memangnya main bola ya, pake protes ?" aku tertawa geli mendengar kata-katanya.

" Hehehe .. kan Dinda sudah kangen sekali sama mama. Wajah mama saja Dinda gak tahu sekarang gimana. Eh, wajah mama sekarang gimana sih Ma ?"

Waduh! kembali malaikat kecil ini menohok hati mamanya. Aku masih belum sempat menjawabnya, ketika kembali tohok yang kesekian dihantamkannya.

" Tahu gak, Ma .. kalau pas pengambilan buku raport di sekolah, temen-temenku selalu nanya, kok mama kamu gak pernah datang ngambil raport ? Kayak apa sih wajah mama kamu, Din?"

" Ohya ?" hanya kalimat pendek itu yang mampu keluar dari bibirku.

" Iya Ma, masa' dari Dinda kelas 1 sampai mau kelas 6, mama gak pernah ngambilin raportnya Dinda. Gak seperti temen-temen yang lainnya"

Rasanya tak perlu lagi aku menjelaskan, bagaimana dia harus menjawab pertanyaan teman-temannya. Dan tak perlu lagi harus kujelaskan mengapa perempuan yang dipanggilnya mama ini tak pernah bisa hadir di sekolahnya saat pengambilan buku raport. Dinda tak akan pernah lupa apa yang pernah aku ucapkan setiap kali aku menelponnya. Aku tahu ini hanyalah ungkapan kecil di antara kerinduannya selama ini. Maafkan mama, Nak.

" Dinda sabar saja ya, sayang. Desember gak lama kok nak. Dinda minta apa kalau mama pulang nanti ?" kucoba menghiburnya dan mungkin juga mencoba menghibur hatiku.

" Minta apa yaa ... " sejenak jawaban itu menggantung, lalu ...

" Oya Ma, Dinda minta mesin cuci aja ya ?"

Ops! Aku tertawa, " Mesin cuci ?"

" Iya, supaya nanti mbah Uti gak usah nyuruh-nyuruh orang buat nyuci'in baju lagi. Wong nyucinya juga gak bersih kok, bayarnya mahal lagi. Kan duitnya bisa dikumpulin daripada buat membayar orang. Nanti kalau Dinda sekolah siapa yang mau nyuci baju, kan kasian kalau mbah Uti yang nyuci, kalau Dinda sekolah nanti kan capek Ma "

Duh, anak siapa ini ? Aku bahkan tak pernah punya pemikiran secerdas anakku sendiri, yang masih berumur 9 tahun! Masyaallah ....

" Iya .. iya sayang, nanti pasti mama belikan yaa. Sekalian aja kalau mama pulang ya, nanti Dinda yang milih mesinnya ya ?"

" Makasih ya Ma "

" Iya, trus buat Dinda sendiri apa?" tanyaku kemudian.

" Apa ya .. ," kembali terhenti sejenak, lalu ..

" Bisa gak Dinda minta .... kalau mama pulang nanti jangan berangkat ke Singapura lagi ?"

Aku menghela nafas sebentar sebelum kujawab pertanyaannya.

" Kan mama harus kerja, Nak. Dinda kan sudah tahu kalau mama harus bekerja "

" Iya, tapi kan kerja di Indonesia juga bisa kan, Ma ? Tuh temen-temenku, ibunya juga gak ada yang ke Singapura kerjanya"

Anakkuuuu ... siapa yang mengajarimu bicara sekritis ini, Nak ?! jeritku dalam hati.

" Ya Ma yaa ... boleh gak, Ma ?" dan suara malaikat kecilku kembali terdengar. Aku sedikit tergagap menjawabnya.

" Iya iya .. nanti kita bicarakan lagi ya kalau mama sudah pulang,"

" Iya ma. Janji ya, ma ? Ohya ... selamat hari raya ya ma, hehehe sampai lupa Dinda. Maaf lahir bathin ya ma "

Iya nak, maafkan mamamu juga, lahir dan bathin ...


spore,230909
** DM **

No comments:

Post a Comment