Sunday, November 15, 2009

SEBAIT SAJAK DARIMU

Sebait Sajak Darimu, Ay ...
[cerpen oleh Dewi Maharani ]



"kulihat dermaga di matamu
dalam pelayaran sepiku
bersama cemas meremas
kutitipkan setetes asa pada rahimmu
kenanglah selalu cintaku yang kekal
karena selalu ada kau di detak jantungku,
rinduku ..."


Sebait sajak yang kau tulis ini masih kupadangi, kubaca lagi, kuulang dan terus kuulang.
Kertas putih berhias huruf-huruf indah ukiran tanganmu yang semakin basah oleh tetes demi tetes airmata yang tak juga mau berhenti ini bergetar dalam genggaman tanganku. Perlahan kuletakkan kertas yang hampir koyak itu di atas meja, bersamaan itupula kuletakkan kepalaku berbantal lipatan pergelangan tangan dan kembali kulepaskan tangis yang sedari tadi berupa isak. Dadaku sesak, sangat sesak, tubuhku terguncang hebat sehebat guncangan berita-berita gempa yang memporak porandakan ranah Minang.


Inikah arti dari sajak itu? Inikah misteri yang harus kuungkap dari untaian kata-kata indah yang selama ini menjadi pertanyaanku? Cemasmu yang meremas hati saat mengungkapkan cinta padaku, inikah jawabannya? Tapi kenapa harus sekarang, di saat cinta telah mengurat dalam jiwaku, di saat hati telah melekat padamu. Saat biduk perlahan telah mulai kita rakit walau tetap kulihat kekhawatiranmu setiap kali menatapku. Kenapa ... kenapa???!!! Hatiku histeris, belati itu kembali mengiris. Darah ... aku melihat darah mengucur dari jantungku yang repih. Perih ini sebenar perih!


Kejujuranmu terlambat, Ay. Kejujuran yang kau balut dengan dusta, apalah artinya? Bagiku sama saja, karena pada akhirnya terkuak juga semuanya. Aku bukanlah gadis ingusan yang akan diam dengan kejujuran palsumu, airmata imitasi yang kau anggap bisa menguatkan sandiwaramu. Semuanya omong kosong yang membuatku semakin merasa tercabik-cabik setelah kau tersudut dengan semua pertanyaanku. Semakin kau kewalahan menjawabnya, bagiku semakin ingin kukoyak kebohonganmu.Semakin kau menyuruhku berhenti, semakin aku tak kuasa mengendalikan diri untuk menggali semua dusta yang telah berani kau mulai.


Ingat Ay, siapa menabur angin maka bersiaplah menuai badai! Dan kau tahu bagaimana diriku, dan kau tahu bagaimana sikapku pada sebuah kebohongan. Dan kau sangat-sangat tahu bagaimana amarahku jika sudah meluap. Seluruh dunia akan ikut merasakan sakitnya sayatan belati di hatiku, Ay! Alam akan turut menangis melihat genangan bening yang tak henti mengaburkan pandanganku. Seperti saat seluruh penghuni alam akan sangat bersuka cita bila aku berbahagia. Kau harus menerimanya, sakitmu yang tak sedalam tusukan pedang di ulu hatiku, rasa malumu yang tak sebesar maluku yang telah menepatkan dirimu sebagai lelaki paling sempurna di atas dunia. Apalagi? Masihkah kau tanyakan keadilan pada diriku, sementara luka ini entah bila akan mengering?


Tanyakan pada dirimu Ay, hukuman apa yang pantas kau terima? Jangan salahkan jika semua mata memandangmu sebagai pecundang, walau sudah kukatakan akulah sang pecundang itu! Akulah yang terlalu bodoh, yang terlalu lekas terbuai oleh manis lidahmu dan teduhnya tatapan matamu. Akulah yang begitu mudah terlena oleh kenyamanan bahu yang kau berikan padaku untuk bersandar. Akulah yang tak sadar bahwa ada perempuan di balik dunia lain yang selalu menantikan belaian kasihmu dengan sabar. Aku terhenyak, saat kau katakan bahwa ada dia yang selama ini kau sembunyikan.


Gempa itu tak hanya mengguncang bumi Padang Ay, namun mengguncang hebat batinku! Meluluhkan tulang-tulang yang menyangga tubuhku, menggelapkan pandanganku, menghancurkan semua sendi yang merangkai ragaku. Aku memekik pada langit yang memandangku muram, " Tuhan, apa arti semua ini???!!!!"


Semuanya sudah tak berarti Ay, walau kau berlutut di kakiku tanpa hendak beranjak. Hatiku telah terkunci mati untuk ma'afmu yang setiap detik kau ucapkan. Gudang batinku sudah meluap dengan kata-kata ma'afmu yang entah harus kuletakkan di mana ma'af yang tercecer itu. Aku tak butuh lagi kata-kata itu. Semua sudah terjadi, aku tak pernah ingin menjilat ludah yang pernah aku buang di tanah. Kau tahu betapa bencinya aku dengan poligami, dan bagai racun kau tawarkan kebencian itu dengan nampan kepalsuanmu.


Sebait sajak di atas kertas itu mulai terkoyak, perlahan dan perlahan tinta emas itu mengabur untuk dipandang. Kuraih kertas yang selama ini kujaga rapi dalam kesucian hati. Kuremas tanpa rasa cemas seperti kecemasanmu saat menitipkan asa pada rahimku. Dengan airmata yang mulai mereda dan luka yang entah bila akan datang obatnya, sebait sajak itu kujadikan repihan-repihan dan kubiarkan terbang bersama hembusan angin menjelang mentari terbenam. Dan pedih ini mengiringi setiap baris kata yang masih tertinggal dalam ingatan ....


"kenanglah selalu cintaku yang kekal
karena selalu ada kau di detak jantungku"


Masihkah harus kukenang Ay, jika setiap hela nafas adalah sayatan belati yang kurasakan ..?


Dan ingatlah Ay, bahwa sekarang bukan jamannya Rosul lagi. Dan aku bukanlah Khotidjah ataupun Aishah yang bisa ikhlas serta tawadu' untuk berbagi suami.




spore, 181009
Dewi Maharani

No comments:

Post a Comment