Sunday, November 15, 2009

MALAM JUM'AT

MALAM JUM'AT
[cerpen special malam Jum'at oleh Dewi Maharani]


"Ayolah ma, papa pingin sekali. Sekali saja ma, dah itu mama boleh istirahat," suamiku masih saja berusaha berusaha merayuku.

Aku tetap menolaknya dengan alasan yang menurutku dia mau mengerti. Tapi tetap saja dengan nada merengek seperti bocah 5 tahun yang menginginkan sesuatu, lelaki yang telah memberiku 2 orang buah hati ini terus menarik-narik ujung lengan baju tidurku.

"Malam jum'at lho, ma," ujarnya sambil membalikkan tubuhku untuk menghadap ke arahnya.

"Iya mama tahu, pa. Memangnya kalau istri papa capek, tetep harus memenuhi permintaan papa?" kataku sambil menarik selimut untuk menutupi tubuhku berusaha menghindar dari gerilya jemari tangan suamiku.

"Mama kan tahu kalau malam jum'at itu malam sunah, ma. Dosa lho kalau menolak," kembali suamiku pantang menyerah sambil melingkarkan kedua tangannya pada pinggangku.

Aduh, kesabaranku benar-benar diuji rupanya. Aku balikkan badanku dan kemudian aku bangkit dan duduk di tepi ranjang. Dengan kesal kutatap wajah suamiku yang juga menatapku tak mengerti.

"Mama tahu pa ini malam Jum'at. So kenapa jika mama menolak? Salahkah mama menolak kalau mama merasa sangat penat dan kepala ini terasa berat? Kenapa sih papa egois gitu?!" nada suaraku sedikit meninggi menahan kekesalan.

"Papa nggak tahu seharian Nadia terus saja menangis tanpa sebab. Mama sudah berusaha bagaimana supaya anak itu diam, tapi dia terus saja menangis tanpa mau sekejappun lepas dari gendongan mama. Sementara mama juga harus mengantar dan menjemput Rio, dan merampungkan semua pekerjaan rumah. Papa nggak ngrasain betapa capeknya mama, please lah pa. Kali ini saja mama menolak. Bolehkan ?"tak kuasa aku menahan emosi untuk menjelaskan kepada suamiku alasan apa hingga aku menolak menjalankan kewajibanku kali ini.

"Okelah okelah terserah mama. Malam-malam nggak usah ribut-ribut gitu, nanti tetangga pada dengar, malu-maluin aja. Dah, papa mau tidur!" jawab suamiku sambil menarik selimut dan membalikkan badannya memunggungiku.

Aku tergugu memandang tubuh gagah yang kemudian diam dan mulai memperdengarkan dengkuran halusnya. Aku tahu suamiku pasti sangat kecewa dengan penolakankun ini. Tapi aku sungguh merasa lelah yang tak tertahankan.

Sedari pagi, sepeninggal suamiku berangkat ke kantornya dan setelah aku mengantarkan Rio, sulungku pergi ke sekolah, Nadia putri keduaku yang baru berusia 9 bulan itu menangis tanpa tahu sebabnya. Segala usaha telah aku lakukan untuk meredakan tangisnya, tapi hanya beberapa menit dia terdiam kemudian tiba-tiba tangisnya kembali pecah seakan ada sesuatu yang menyakitinya.

Aku benar-benar dibuat panik menghadapi keadaan putriku. Suhu badannya normal-normal saja, kondisi fisiknyapun tak ada yang aneh. Bahkan bubur susu yang aku suapkan tuntas habis tak tersisa, menunjukkan bahwa bayiku dalam keadaan sehat-sehat saja.


Sampai akhirnya beberapa orang tetanggaku yang tak tega mendengar tangisan Nadia segera turun tangan untuk ikut menenangkan aku dan juga Nadia. Dan yang membuatku dan beberapa orang tetanggaku heran, mejelang maghrib tangis Nadia semakin menjadi. Hatiku benar-benar kacau dibuatnya, hingga aku menangis karena terlalu panik.


Ketika adzan maghrib terdengar, tangis Nadia reda seketika. Namun setengah jam kemudian tangis itu kembali pecah. Aku yang baru saja menyelesaikan bacaan surat Yasinku bergegas mengendongnya dan kembali berusaha menenangkannya. Bahkan Rio ikut menangis menyaksikan adik satu-satunya menangis tanpa henti.

Dalam keadaan panik, tiba-tiba terdengar pintu rumahku diketuk dari luar. Dengan menggendong Nadia, segera kubuka pintu. Dua orang tetanggaku nampaknya datang bersama seorang lelaki tua berbaju dan bersorban serba putih.

"Maaf bu Randi, kenalkan ini pak Amir. Orang yang dianggap tua di kampung ini. Tadi saya datang ke rumah beliau supaya mau ke mari menjenguk ibu sama nak Nadia. Pak Amir, ini bu Randi yang saya ceritakan sama bapak tadi," ujar mang Didin salah satu tetanggaku yang baik hati itu.

Aku tersenyum mengangguk pada orang yang disebut pak Amir itu, dan segera kupersilahkan masuk ke dalam rumahku.

Setelah melihat keadaan rumah kontrakanku yang baru 3 bulan aku tempati ini, pak Amir segera memberikan beberapa do'a-do'a untuk Nadia. Kulihat bagaimana dia dengan khusuknya membaca do'a-do'a itu tanpa mengeluarkan suara dan meniup ubun-ubun Nadia yang kemudian nampak tenang dan tertidur pulas.

Dan sebelum meninggalkan rumahku, lelaki berpenampilan tenang itu menyarankan agar aku segera membuat selamatan agar tak ada gangguan dari manapun selama aku menempati rumah ini. Aku mengangguk menyetujuinya. Hingga pukul 10 malam mejelang suamiku pulang dari kantornya, para tamu itu berpamitan pulang.

Memang benar juga kata orang itu, bahwa kami harus mengadakan selamatan agar merasa nyaman di dalam rumah ini. Aku sengaja meminta suamiku mencari rumah kontrakan baru di daerah perkampungan, agar suasana dan udaranya bagus untuk pertumbuhan anak-anak kami terutama Nadia yang masih bayi. Dan suamiku mendapatkan sebuah rumah mungil di sebuah kampung yang masih sangat asri, namun banyak tetangga yang rumahnya berdekatan dengan rumah kami ini, sehingga suasananya tak terlalu sepi.

Beberapa hari pertama memang rumah itu terasa sangat dingin dan sunyi. Apalagi suamiku selalu berangkat ke kantornya pagi-pagi dan pulang larut malam karena jarak rumah kami dan tempat kerja suamiku lumayan jauh. Masih untung ada televisi yang bisa menjadi temanku dan Rio membunuh kesunyian itu. Hingga beberapa hari belakangan ini Nadia mulai rewel tanpa sebab dan memuncak di hari ini

Kembali aku baringkan tubuh lelahku di sebelah tubuh suamiku yang masih dalam posisi memunggungiku. Aku merasa begitu tenang karena Nadia sudah tertidur sangat pulas, juga Rio tidur tenang setelah diapun ketakutan dibuat oleh tangis adiknya.

Mataku menerawang ke atas, aku menarik nafas dalam-dalam dan berencana akan menceritakan kedatangan tamu tadi pada suamiku esok pagi. Angin di luar terdengar sangat kencang. Aku maklum, selain seharian hujan mengguyur bumi siang tadi, daerah yang kutempati ini ada di tepi persawahan.

Namun aneh, sepertinya angin tak hanya di luar saja. Aku bisa merasakan dingin yang luar biasa dan bunyi gemuruh angin terdengar jelas di seluruh ruangan rumahku. Tiba-tiba aku merasakan bulu kudukku meriding. Horden yang membatasi pintu antara kamarku dan ruang tamu nampak berkibar-kibar dengan kencang pula.


Aku merasakan suasana yang lain di dalam kamarku ini, entah apa itu. Lampu kamarku yang biasanya terang benderangpun meredup dengan tiba-tiba. Aku memang tak biasa memadamkan ataupun menggunakan lampu temaram untuk menerangi kamarku. Aku menoleh ke arah box di mana Nadia terbaring, namun bayi tercinta itu nampak masih tertidur dengan sangat pulas.

Aku menoleh sekeliling, terasa suara angin itu semakin kencang saja. Kutarik sebagian selimut yang menutupi tubuh suamiku, namun rasa dingin tak juga mau pergi. Sedangkan posisi suamiku masih tetap membelakangiku dengan dengkuran halusnya. Sesaat kurasa ada yang berkelebat dari balik horden pintu itu.

Ahh ... aku tak berkedip dibuatnya! Sebuah bayangan berbaju putih itu nampak separo tubuhnya tersamar kain horden. Di antara rasa takut yang mulai menjalar, ada pula rasa keingintahuanku akan bayangan itu. Bayangan itu masih tetap di sana, bahkan rambut panjangnya nampak pula berkibar bersama kibaran gaunnya.

Dia menatapku! Ya! wajah itu menatapku dengan senyum yang lebih pantas kusebut seringai!
Kupejamkan mataku, tapi entah kenapa rasanya mata ini tak mampu terpejam sama sekali. Dan anehnya, tubuhkupun terasa sangat susah aku gerakkan sedikitpun. Mataku tak mau lepas dari bayangan putih yang menyeringai itu.

Aku berusaha mengingat-ingat salah do'a yang juga sangat sulit keluar dari mulutku. Kutoleh suamiku, aku ingin membangunkannya, namun sungguh tangan inipun tak mampu kugerakkan. Tuhan tolong aku!


"Astaghfirullah ... laillahailallah ..." akhirnya aku berhasil mengucap kalimat sakti itu. Dan sungguh aneh, lampu di kamarku kembali benderang seperti semula dan deru angin dalam rumahkupun lenyap seketika. Aku kembali bisa menggerakkan tubuhku.

Dengan cepat kubangunkan suamiku dengan cara mengguncang-guncangkan lengannya. Suamiku menggeliat dan membalikkan tubuhnya menghadap ke arahku. Segera kuangkat lengan suamiku dan kususupkan wajahku ke dadanya.

"Pa peluk mama, pa" bisikku lirih, hatiku masih bergemuruh.

Nampak suamiku keheranan. Matanya setengah terbuka memandangku dan tersenyum.

"Kenapa ma?"

"Peluk mama, mama takut pa."

"Iya sini papa peluk, dah mama bobo' ya, papa tahu kok mama capek. Bobo' yaa ," ujarnya sambil merengkuh tubuhku dalam dekapannya. Dan aku membalas dekapan itu, sangat erat dan tak ingin melepaskannya. Karena aku merasa sangat nyaman dan terlindungi dalam kehangatan dada bidang lelaki yang kucintai ini.


Ah malam Jum'at ini, sungguh malam yang tak ingin kuulangi lagi ...


SEKIAN


spore, 121109
**DM**

No comments:

Post a Comment