Sunday, November 15, 2009

KISAH LENGKING PURNAMA

Kisah Lengking Purnama
cerpen oleh Dewi Maharani


Kisah ini hanyalah kau dan aku yang tahu, mengerti dan memahami, mengapa sampai perjalanan sebuah pencarian yang tak pernah selasai ini terjadi.


Senja merayap perlahan namun pasti menuju malam, bersama lingkar emas purnama yang mulai mempertontonkan keanggunannya di tengah kerlipan para bintang. Indah langit tak seindah suasana bathinnya, yang selalu gulana di awal purnama hingga harus dengan rela melepas masa dengan sia-sia.


Dia tergantung di tengah sebuah pintu yang membuatnya tak bisa memasuki dua dunia, ada yang belum terselesaikan yang membuatnya mampu bertahan menggerayang malam dengan kidung-kidung pilu yang menyayat kalbu.


Ya, perempuan berkebaya dan beralas sandal terompah itu, entah sudah berapa puluh tahun mengitari sepanjang pinggiran Sungai Putih, nama sungai di sebuah desa yang tak pernah nampak ada kehidupan jika purnama menjelang. Seolah sudah menjadi kebiasaan bagi warganya untuk segera menutup pintu dan jendela rapat-rapat selepas maghrib, tak terkecuali.


Dan para ibu akan segera meninabobokan bayinya juga anak-anak dibawah umur sesudah isya. Karena mejelang tengah malam para orang dewasa akan segera memasang telinganya untuk sebuah senandung memilukan yang secara perlahan akan terdengar mendekat, semakin dekat dan dekat. Namun suara yang berasal dari tepi sungai itu, yang mulanya hanyalah sebuah gumam tak jelas, menjadi sebuah kidung yang masih seperti gumaman dan secara perlahan akan berubah menjadi lengking tangisan yang membuat bulu kuduk bergetar.


Seperti saat ini, gerbang tengah malam mulai terbuka oleh hembusan angin dengan semilir yang tak biasa. Kepak kelelawar menyambut keheningan, menghentikan suara riang jangkrik-jangkrik hutan yang segera bersembunyi dibalik tebal rerumputan liar. Senandung itu mulai terdengar, menggema menembus pekat kabut malam dan memantul dari batang-batang pohon jati yang mngelilingi tepian Sungai Putih.


" Thok, thok ... thok, thok!"

Bunyi terompah kayu memecah kesunyian menandakan sang empunya sedang melintasi jalan beraspal di jembatan yang berada di atas sungai itu. Kebaya dengan motif bunga-bunga dengan kain batik yang melilit di tubuhnya, serta kerudung biru yang dikenakannya nampak berkibar-kibar tertiup desah angin malam. Dia akan terus berjalan, dan berjalan mengelilingi sepanjang tepian Sungai Putih sambil tak henti bersenandung.


Setiap malam hingga pagi saat sinar bulan menghilang, dia tak akan pernah menghentikan langkah kakinya. Senandung pilu yang didengungkannya akan menjadi lengking tangisan mejelang subuh tiba. Sesudah itu ia akan menghilang dan kembali muncul menjelang tengah malam hingga purnama tak lagi menghiasi langit setelah tujuh hari.


Tak ada yang tahu siapa dia, perempuan berkebaya dan berkerudung biru yang selalu membayangi keheningan di desa itu.
Suara terompah kayunya dan senandung yang selalu berubah menjadi lengkingan pilu hanya akan berhenti sejenak, jika ia berpapasan dengan seseorang yang melintas di tengah jembatan itu. Dengan keanggunanya ia akan mendekat dan suara halus dari bibir merah merekah itu akan segera menyapa ...


" Namaku Jantini, tolong aku kisanak. Adakah kisanak melihat sebuah selendang sutera berwarna ungu? Tolonglah kisanak, jika engkau menemukannya segera kembalikan kepadaku. Aku sudah mecarinya berpuluh-puluh purnama di sini, namun hingga kini tak juga aku temukan selendang kesayanganku itu. Tolonglah kisanak, aku sangat lelah, terlampau lelah."


" Aku ingin segera menemui kekasih hatiku. Namun tanpa selendang itu, aku tak bisa bertemu dengannya. Karena selendang itu adalah hadiah tanda cinta darinya, yang akan kukenakan sepanjang hidupku. Karena tanpa selendang itu, kekasihku tak percaya bahwa aku masih sangat mecintainya."


" Kisanak, di mana selendang itu? Katakanlah, aku sudah tak punya cukup waktu. Aku ingin melepaskan rindu pada kekasihku yang telah lama menunggu di pintu nirwana. Kekasihku yang malang, dia meregang nyawa saat hendak melindungiku dari para lelaki bejat yang merobek-robek keperawananku dan melemparkan tubuh kami pada derasnya aliran sungai ini!"


Dan suara lantang itu kembali menjadi lengking tangis dan tawa bengis. Tak akan pernah ada yang bisa kembali jika melintasi jembatan itu, karena mereka tak akan pernah bisa menemukan selendang sutera ungu yang diinginkan Jantini. Dan tubuh para lelaki malang itu akan diketemukan mengambang setelah beberapa hari hanyut ditelan derasnya aliran Sungai Putih yang selalu meminta korban setiap purnama datang.


SEKIAN


spore, 061109
** DM **

No comments:

Post a Comment