Wednesday, August 19, 2009

Ramadan Ini

Ramadan Ini

( cerpen oleh Dewi Maharani )

Ramadan kembali datang, begitu cepatnya waktu berjalan hingga tak terasa bulan mulia penuh berkah dan rahmat ini kembali menghampiri. Alhamdulillah, ada kelegaan yang membelai hatiku menyambut Ramadan kali ini.


Ya, kelegaan akan kepastian atas sebuah pertanyaan yang selama ini membuatku terombang-ambing dan penuh keragu-raguan untuk melangkah. Pertanyaan tentang keberadaanmu selama setahun ini, pertanyaan yang membuatku hampir gila menghadapi sindiran, cibiran dan sorot mata orang-orang di sekelilingku. Pertanyaan yang juga keluar dari mulut-mulut tak berdosa ketiga anak kita yang sepertinya tak pernah puas dengan jawaban yang aku berikan.


Sejak keberangkatanmu menjelang Ramadan tahun lalu, sebenarnya hati kecil ini membisikkan sesuatu padaku bahwa kau tak akan pernah kembali lagi ke rumah ini. Entahlah, hati ini terlalu peka terhadap situasi yang terjadi dalam kehidupanku, tentang orang-orang yang aku cintai, termasuk dirimu tentunya.
Dan kau tahu itu dengan pasti, bahwa aku mencintaimu dengan segenap jiwa ragaku dan rela bermandi darah untuk keutuhan rumahtangga kita.


Ah sudahlah, aku tak ingin membahas apa yang telah aku lakukan selama 15 tahun mendampingimu dan bergelar Nyonya Dodi Anggriawan. Semua kulakukan dengan ikhlas tanpa minta belas kasihanmu yang jelas-jelas tak mungkin aku harapkan lagi. Aku hanya ingin kamu mengerti, betapa luka ini tak sekedar luka berdarah tapi juga bernanah, busuk yang nyaris membuatku mengakhiri hidup bila tak kulihat wajah-wajah polos memandangku dengan tatapan tak berdosa.

Seperti 5 Ramadan sebelumnya, kaupun tak pernah berkumpul bersama kami hingga lebaran tiba. Dengan alasan yang sama dan pulang dengan keadaan yang sama, yaitu tangan hampa dan seribu alasan yang bagiku terlalu kau buat-buat. Marahkah aku? Tidak bukan ?


Karena bagiku, sejak usaha yang kau dirikan 10 tahun lalu dan berjalan begitu mulusnya, hingga membuatmu hidup mengalahkan gaya hidup raja minyak itu jatuh bangkrut, aku sangat-sangat memahami yang bergejolak di hatimu. Bahkan saat-saat kau mulai banyak berbohong, meninggalkan rumah dengan alasan mengambil barang, negosiasi dengan langganan, meeting dengan bos-bos besar yang memakan waktu berminggu-minggu tanpa ada khabar anginpun aku tetap mencoba diam.


Ya seperti 5 Ramadan sebelumnya, saat kau berpamitan kepada kami untuk keluar kota hingga satu bulan lamanya, aku masih mencoba bertahan karena kau masih pulang walau dengan membawa hasil yang tak seberapa. Dan kehidupan kita mulai menurun sedikit demi sedikit dengan mengandalkan simpanan di bank yang tak pernah bisa kita tambah. Bahkan tatapan mata dan wajah lega anak-anak saat mendapati ayah mereka berada di rumah dan tawa riang saat bercanda denganmu, selalu mampu meluruhkan sebongkah batu yang terendap dari amarah-amarah yang terkumpul perlahan.


Hingga awal Ramadan setahun yang lalu, saat kau kembali berpamitan untuk keluar kota, aku mengangguk mengiyakan dengan sangat ringan tanpa beban. Aku tahu, kau tak akan pernah kembali.
Karena kebenaran mulai terkuak, ketika malam sebelum keberangkatanmu aku temukan sebuah surat singkat dan padat dari kota yang pernah kita diami saat hidup kita seakan di awang-awang, dan seketika itu juga aku merasa betapa aku adalah perempuan paling bodoh yang tak pernah tahu siapa sebenarnya dirimu.


Kesabaran ini seakan dilipat gandakan oleh Yang Maha Kuasa, dalam waktu yang beruntun luka yang kau berikan terus menghantamku tanpa bisa dihentikan. Saat seminggu sesudah kepergianmu, saat beberapa debt collector satu persatu mulai mendatangi rumah kita, tanpa kutahu kapan dan untuk apa kau berhutang hingga ratusan juta, bahkan wajah-wajah merekapun sama sekali aku tak mengenalnya.
Dan semenjak itu pula, semua uang dan barang yang rapi aku simpan, satu persatu harus aku relakan.

Dari sebuah mobil kebanggaan anak-anak, dua sepeda motor yang biasa kita pakai jika membawa anak-anak keliling kota, emas, berlian yang semua aku bungkus rapi tak tersisa lagi. Hingga tangis anak-anak saat menyaksikan tv LCD yang berada di ruang keluarga digotong keluar dengan tanpa perasaan oleh beberapa lelaki berbadan kekar dan menyeramkan bagaikan belati yang menyayat-nyayat hatiku menjadi lapisan-lapisan penuh darah.


Bisakah kau bayangkan, saat aku dengan airmata darahku harus meninggalkan rumah yang selama 10 tahun kita bangun dengan tetesan peluh, di mana anak-anak kita dengan riang tumbuh dan berlabuh. Dapatkah kau rasakan, perasaan kedua orang tuaku saat melihat anak perempuannya dan ketiga cucunya memohon belas kasihan untuk bisa berteduh bersama mereka .

Rasanya tak perlu aku ceritakan padamu, apa yang terjadi setelah setahun ini, setelah aku mulai bisa merangkak perlahan, setelah tak ada lagi airmata yang harus ditumpahkan. Setelah aku mulai terbiasa menyatu dengan kesunyian, kesunyian yang mengajarkan aku bahwa kesabaran tak pernah ada batasan waktu. Kesabaran adalah teman untuk kembali berjalan, karena hidup tak boleh dihentikan demi nyawa-nyawa yang sangat membutuhkanku. Nyawa-nyawa yang telah kau sia-siakan, nyawa-nyawa yang teraliri merah kentalnya darahmu. Nyawa-nyawa yang telah memberi aku kekuatan untuk tetap bertahan hingga kini.


Dan sungguh, Ramadan ini aku jelang dengan tenang dan lapang hati. Tak ada lagi pertanyaan dari mulut mungil si bungsu yang selalu bertanya, " Papa kapan pulang, adek kangen papa .. ma "

Juga pertanyaan si sulung yang selalu terdengar kesal, " Kenapa sih papa gak pulang-pulang, ma? Masak kerja kok gak pernah pulang!"

Atau pertanyaan si tengah yang membuatku nyaris berhenti bernafas, " Ma, papa kok gak pulang-pulang? Mungkin papa mati ya ketabrak kereta api atau truk, kenapa mama enggak lapor polisi aja?"


Kini mereka sudah terbiasa tanpa hadirmu, tanpa aroma tubuhmu, tanpa tawa kepura-puraanmu yang membuat mereka rindu. Tak ada, sungguh tak ada. Bahkan hidup ini terasa begitu damai seolah-olah kau tak pernah ada di antara kami. Walau kami masih tetap hidup menumpang dengan bapak dan ibuku yang tak menginginkan aku meninggalkan mereka lagi. Dan aku melihat luka mereka pada senyum dan tawa saat bercanda dengan anak-anak.


Ramadan ini, kusambut bagai Ramadan baru, sebagai insan yang baru saja dimandikan oleh siraman iman yang menguatkan langkahku untuk menghadapi kehidupan. Luka ini, luka hati anak-anak dan luka orangtuaku adalah bahan bakar untuk melaju, tanpamu, tanpa nafas dan bayang-bayangmu. Karena kau tak akan pernah hadir kembali di sini, setelah aku mendapatkan khabar yang membuatku yakin bahwa di sana, di kota tempat kita pernah mengenyam indahnya bahagia ..... kau telah mengawini seorang janda kaya yang suaminya tewas bersama pesawat pribadinya yang jatuh di selat Malaka.


Marhaban Yaa Ramadan ...

No comments:

Post a Comment